Kamis, 30 April 2009

POLIGAMI

Oleh: Fakhrurazi

A. Dasar Hukum Poligami
Barangkali lembaga ini merupakan salah satu ajaran Islam yang paling disalahpahami dan paling keras dikecam oleh orang-orang non muslim. Tapi tentunya tuduhan ini tidak berdasar sama sekali karena dilontarkan dengan dasar tidak sukanya kepada Islam. Bahwa Islam mengakui eksistensi poligami, benar adanya. Namun penggunaan dan pemahaman lembaga tersebut jauh dari stereotip barat. Dalam Islam Poligami bukan sebuah keharusan dan bukan pula praktek universan. Ia lebih dipandang sebagai pengecualian bagi norma monogami, dan pelaksanaannya secara kuat dikendalikan oleh tekanan-tekanan sosial.
Dasar hukum kebolehan poligami dalam Islam diatur dalam surat al-Nisa ayat 3:

وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى
وثلا ث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أوما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعوالوا

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada berbuat aniaya (Q.S.4:3).

Berdasarkan ayat ini Rasulullah Saw melarang seorang pria menghimpun lebih dan empat orang isteri pada saat yang sama. Ketika ayat itu turun, Rasulullah memerintahkan setiap pria yang rnemiliki lebih dan empat orang isteri agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang (pria) hanya memperisterikan empat orang wanita. Ketentuan ini ditegaskan melalui ucapannya:
عن عبد الله بن عمر ان غيلان بن سلمة اسلم و له عشر نسوة فاسلمن معه فامره النبى ص م ان يتخير منهن اربعا. (رواه احمد والترمذى)[1]
Dari Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Ghilan ibn Salamah masuk Islam, dia mempunyai sepuluh orang isteri yang masuk Islam bersamanya, maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memilih empat orang (isteri) saja. (HR. Ahmad, Turmidzi).

Secara tekstua!, ayat 3 surat an-Nisa’ dan Hadis di atas merupakan dasar hukum kebolehan poligami. Namun, seperti dijelaskan M. Quraish Shihab, makna ayat tersebut sering disalahpahami. Lebih lanjut Shihab menguraikan bahwa ayat itu turun menyangkut sikap sebagian orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Jadi, pada dasarnya, ayat tersebut turun untuk menolak persepsi keliru sebagian umat Islam ketika itu. Penyebutan dua, tiga, atau empat secara esensial adalah penegasan dan tuntutan berlaku adil terhadap mereka (anak-anak yatim).[2]

Di sisi lain, secara historis poligami sudah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam dengan berpedoman pada syariat dan adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Kitab suci Yahudi dan Nasrani tidak melarang praktek poligami. Mengawini lebih dan satu isteri sudah menjadi jalan hidup yang diakui keberadaannya. Semua Nabi yang disebutkan dalam Kitab Talmut dan Perjanjian Lama mempunyai lebih dan satu isteri.

Poligami juga dikenal di kalangan bangsa Medes, Babilonia, Abbesinia, dan Persia. Bahkan poligami yang dipraktekkan bangsa Yunani terkesan sangat tidak manusiawi. Bangsa Yunani bukan saja memiliki seorang isteri yang dapat dipertukarkan dengan yang lain, tetapi juga dapat diperjualbelikan di antara mereka pada umumnya. Di kalangan bangsa Arab Jahiliah, mengawini sejumlah wanita merupakan hal lumrah dan mereka menganggap wanita-wanita itu sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.[3]

Agaknya, karena kenyataan sejarah tersebut maka al-Quran (Q.S.4:3) tidak menetapkan suatu peraturan tentang poligami. Hal ini terlihat dari makna (kandungan) ayat tersebut yang tidak menyiratkan unsur-unsur perintah atau anjuran tetapi unsur kebolehan.
Kebolehan itu pun bukan kebolehan mutlak, tetapi kebolehan bersyarat; untuk memenuhi kebutuhan mendesak (sebagian anggota) masyarakat disertai tanggung jawab berat bagi pria yang me!akukannya.[4] Kebolehan untuk berpoligami itu disertai dengan sebuah persyaratan yang cukup berat, yakni kemampuan untuk berlaku adil terhadap para isteri, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas. Dalam surat an-Nisa’ ayat 129 Allah kembali menegaskan:

....فلا تميلوا كل الميل فتذرواها كالمعلقة ...

“Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Maksud ayat di atas adalah cenderung dalam pembagian giliran dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena penyamaan dalam hal cinta adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Jadi keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang membolehkan poligami adalah keadilan dalam bidang Materil.
Peringatan Allah kepada mereka yang berpoligami untuk berlaku adil, dipertegas oleh hadis Nabi:

عن ابى هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له امرأتان فمال الى احداهما دون الاخرى جاء يوم القيامة وشقه مائل.
“Dari Abu Hurairah r.a: Sesungguhnya Nabi S.A.W, bersabda: Barang siapa punya dua isteri, lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya tanpa yang lainnya, maka dia akan datang padahari kiamat kelak dengan keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Ahmad dan al-arba’ah (perawi yang empat, yaitu: Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasa’i dan Ibn Majah).

Hadis ini sekaligus juga menjadi dalil kewajiban suami yang berpoligami untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan haram baginya untuk larangan untuk cenderung kepada salah satu dari mereka.
Keadilan yang dituntut oleh Allah dalam firmannya di atas serta hadis Nabi sama sekali tidak bertentangan dengan firman Allah dalam al-Nisa’ ayat 129:
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم.....(النساء : 129).
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian .“ (Q.S. 4:129)

Keadilan yang dimaksud ayat di atas dan mustahil untuk mewujudkannya adalah adil dalam masalah cinta. Oleh karena itu tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai argumentasi dan dasar hukum ditutupya pintu poligami serapat-rapatnya.
Perlu diketahui, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna adil yang dimaksud dalam firman Allah di atas. Adil disini adalah adil secara lahir yakni keadilan yang dapat dilakukan oleh manusia, seperti adil dalam masalah pembagian giliran, nafkah, tempat tinggal dan sebagainya, jadi bukan adil secara batin, karena Allah sendiri sudah menjamin bahwa dalam persoalan adil dengan makna ini, tidak akan ada seorang pun yang punya
kemampuan untuk itu, termasuk Rasulullah sendiri.
Al-Quran membolehkan poligami dalam kondisi tertentu (dharurah) sebagai solusi untuk mengatasi kebuntuan kehidupan keluarga; misalnya jika isteri tidak sanggup menyalurkan kebutuhan biologis atau tidak mampu memberikan keturunan. Dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi ideal, namun hal itu sangat tergantung pada pertimbangan setiap Muslim. Artinya, poligami tidak merupakan anjuran apalagi perintah. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menghendaki solusi seperti itu.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami surat an-Nisa’ ayat 3, yakni mengenai jumlah isteri yang diperbolehkan untuk berpoligami. Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh karena berbedanya mereka dalam memahami makna kata matsna wa sulasa wa ruba’a. Namun pendapat yang terkuat adalah bahwa jumlah isteri yang diperbolehkan dalam berpoligami itu adalah empat orang. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Argumentasi dan dalil yang digunakan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 :
....فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلا ث ورباع...
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat
Huruf wau(و) , dalam kata matsna wa sulasa wa ruba’a menempati atau bermakna huruf aw ( أو) yang artinya “atau”. Jadi huruf wau disini tidak diartikan menurut arti aslinya, yaitu “dan”. Demikian juga arti matsna, sulasa, ruba’a dimaksudkan disini dengan arti dua, tiga dan empat.
Pendapat ini didasari oleh adanya hadis berikut:
عن عبد الله بن عمر ان غيلان بن سلمة اسلم و له عشر نسوة فاسلمن معه فامره النبى ص م ان يتخير منهن اربعا. (رواه احمد والترمذى)
Dari Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Ghilan ibn Salamah masuk Islam, dia mempunyai sepuluh orang isteri yang masuk Islam bersamanya, maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memilih empat orang (isteri) saja. (HR. Ahmad, Turmidzi)
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibn Majah:
عن قيس بن الحارث قال: اسلمت وعندى ثمان نسوة , فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت ذالك له , فقال: اختر منهن اربعا .
“ dari Qais bin Haris, ia berkata: Aku masuk Islam sedangkan aku mempunyai delapan isteri, lalu aku datang mengunjungi Nabi SAW, dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “pilihlah empat orang di antara mereka ”.
B. Polemik Seputar Poligami
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengaruh ide-ide Barat terhadap dunia Arab dan Islam merupakan salah satu motor (penggerak) modernisasi hukum Islam. Dalam masalah poligami, para ilmuwan muslim melakukan reinterpretasi terhadap teks al-Quran surat al-Nisa’ ayat 3 serta mencari korelasi dengan ayat 129 pada surat yang sama. Ada perbedaan antara kalangan tradisionalis dan modernis dalam menafsirkan ayat tersebut.
Diskusi di kalangan tradisionalis (seperti yang terdapat dalam karya-karya tafsir lama) terfokus pada apakah formula yang ada dalam teks ayat tersebut secara implisit mengandung pengertian tidak membatasi poligami ataukah membatasi secara legal tentang jumlah isteri sampai empat orang. Adapun perdebatan yang berkembang di kalangan modernis lebih mengarah pada apakah al-Quran membolehkan poligami?
Abdul Aziz Fahmi (ilmuwan dan Menteri Kehakiman Mesir dari 13 Maret s/d 5 September 1925) mengemukakan pandangan radikal dengan menyebutkan bahwa poligami dilarang secara eksplisit dalam al-Quran. Sebagai argumentasi ia menyebutkan korelasi antara ayat 129 dan ayat 3 surat an-Nisa’ jelas mengesankan adanya pelarangan itu. Walaupun Fahmi secara eksklusif mendasarkan pemikirannya pada teks al-Qur’an dan deduksi-deduksi lengkap yang diambil dari sejarah Islam, dalam berbagai polemik Ia tetap dituduh sangat terpengaruh Barat.[5]
Ahmad Muhammad Jamal menilai bahwa Abdul Aziz Fahmi pernah menawarkan pandangan mengagumkan (ra’y ‘ajib), yaitu perlunya mengganti alfabet Arab dengan alfabet latin. Jelas sekali, serangan itu dimaksudkan untuk mendiskreditkan Fahmi dengan mengeksposkan bahwa ia seorang westernis.[6] Sebagai polemis cerdik, secara sinis Jamal menyebut pandangan Fahmi tentang poligami dengan a’jab (sangat mengagumkan). Uniknya, Jamal tidak saja menyerang Fahmi melalui argumentasi interpretatif belaka, tetapi juga dengan alasan yang didasarkan pada apa yang dalam pandangannya secara sosial diperlukan. Menurut Jamal, suatu masyarakat yang membolehkan poligami justru lebih adil dibandingkan dengan masyarakat yang melarang praktek tersebut. Sebab, hal itu sangat memungkinkan terciptanya situasi yang diinginkan, yaitu adanya solusi lebih baik dengan diperboleh-kannya seorang suami mengambil isteri kedua daripada terjadinya perceraian. Bagi Jamal, secara moral poligami tidak lebih rendah dari monogami sebab ia justru dapat menghilangkan sikap munafik dalam praktek monogami.[7]
Muhammad Abduh melarang poligami, karena praktek poligami, pada zamannya, sudah melenceng dari dasar pensyariatan poligami pada masa Rasulullah, kalau pada masa Rasul, poligami dengan tujuan untuk memelihara anak yatim, janda-janda yang terlantar dan untuk dakwah Islam. Sedangkan pada masa Abduh, pada umumnya poligami dilakukan karena faktor syahwat semata.[8]
Sebaliknya, Rasyid Ridha berupaya memperkokoh Islam dengan menyoroti ketidakadilan kritik Barat dan kaum misionaris terhadap kebolehan poligami yang mereka anggap sebagai kesalahan Islam. Menurut Ridha, para pengritik Barat itu menganut asas kemunafikan. Di satu sisi mereka melarang poligami, namun di sisi lain, secara tersembunyi membolehkan praktek perzinaan. Dalam konteks ini Ridha tidak banyak memberikan interpretasi terhadap teks al-Quran, tetapi lebih banyak menyoroti aspek differensial antara akibat pembolehan poligami dalam Islam dan akibat pelarangan masalah tersebut dalam komunitas Barat.[9]
Negeri-negeri Kristen memang memperlihatkan praktek monogami yang besar, namun sebenarnya mereka melakukan poligami terselubung. Tidak seorang Kristen pun menyadari akan peranan para gundik dalam kehidupan komunitas mereka. Sebaliknya, pembolehan poligami dalam komunitas Muslim justru dapat mencegah terjadinya praktek zina dan prostitusi.
Seperti halnya Ridha, Abbas Mahmud Aqqad juga menanggapi kritik Barat dengan mengemukakan argumentasi komparatif, bukan melalui reinterpretasi teks al-Quran. Aqqad mengatakan, menuduh Barat tidak mempunyai hak mengeritik praktek poligami di kalangan Muslim adalah sesuatu yang tidak beralasan, tetapi Kristen pun sama sekali tidak pantas mendapat pujian karena melarang poligami. Sebab, pelarangan Kristen sesungguhnya tidak didasarkan pada ketinggian moralitas agama Kristen, tetapi justru sebaliknya. Kebanyakan pemimpin gereja dan ahli agama Kristen, menurut Aqqad, memandang kaum wanita sangat rendah (mereka dianggap sebagai setan) sehingga harus dimiliki sedikit mungkin oleh kaum pria. Tampaknya, Aqqad ingin menunjukkan bahwa pembolehan poligami di kalangan Muslim justru memperlihatkan ketinggian moralitas dan penghargaan terhadap wanita.[10]
Uraian di atas menunjukkan bahwa polemik seputar poligami bermuara pada dua pandangan. Pandangan pertama cenderung memahami teks al Quran an-Nisa’ : 3 dan 129, secara eksplisit, mengandung pelarangan poligami. Sementara pandangan kedua (walaupun dengan argumentasi berbeda) menyebutkan, ruh al-Qur’an yang sesungguhnya adalah monogami karena pernikahan dengan lebih dan satu isteri tergantung pada persamaan dan keadilan mutlak antara isteri-isteri.
Persyaratan itu (keadilan dan persamaan) hampir tidak mungkin diwujudkan dalam kehidupan sosial Muslim, sebagaimana diisyaratkan al-Quran (QS. 4: 129). Oleh karena itu, seorang pria Muslim hendaknya membatasi diri dengan monogami. Sebab menikahi lebih dan seorang isteri, tanpa dibarengi kemampuan berlaku adil sama artinya dengan menjerumuskan diri ke dalam posisi yang mustahil.
Pengaruh modernitas terhadap dunia Islam, yang berakibat meningkatnya pendidikan wanita dan munculnya reorientasi pemahaman keagamaan, berdampak menurunnya frekuensi praktek poligami di dunia Islam. Melalui studi antropologisnya di Pakistan, Akbar S. Ahmad menemukan bahwa hanya 0,02 persen pria yang melakukan poligami, sedangkan mayoritas mereka menganut monogami. Temuan Ahmed, paling tidak, mengandung dua kemungkinan. Pertama; mayoritas pria Muslim Pakistan sudah memahami dan menyadari substansi poligami dalam Islam. Kedua; perubahan kecenderungan, dari kecenderungan berpoligami kepada kecenderungan monogami, akibat perubahan pola pikir yang dipengaruhi oleh tatanan kehidupan modern.[11]
Terlepas dari valid tidaknya analisis ini, yang jelas dalam pandangan kaum modernis, poligami hanya dibolehkan kalau memang dapat menjadi salah satu solusi bagi problematika perkawinan; misalnya akibat kebutuhan suami tidak terpenuhi oleh isteri atau isteri tidak mampu memberikan keturunan. Perubahan pandangan ini, dari pembolehan poligami secara umum ke pembatasannya sebagai dharurah, lebih dimotivasi oleh perubahan sosial, akibat pengaruh ide-ide Barat terhadap nilai sosial komunitas Muslim, daripada penafsiran al-Quran. Jadi dalam konteks kekinian, “poligami terbatas’ merupakan kebutuhan realistis keadaan tertentu. Lagi pula, poligami terbatas dipandang lebih baik dan lebih etis dibandingkan poligami tersembunyi tanpa tanggung jawab, yang dalam beberapa kasus diterima dalam kehidupan masyarakat Barat.
C. Poligami dalam Perundang-Undangan Negeri Muslim
Pada dasarnya modernisasi hukum keluarga Islam bertujuan untuk meningkatkan status kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga inti atas hak-hak anggota keluarga yang lebih besar. Modernisasi ini terjadi dalam tiga bidang; perkawinan, perceraian, dan kewarisan.
Di antara perubahan-perubahan penting dalam bidang hukum perkawinan adalah pembatasan poligami. Pembatasan ini, antara lain, ditandai dengan adanya tindakan-tindakan hukum yang menyatakan bahwa seorang suami harus mendapatkan izin dari pengadilan untuk berpoligami. Tampaknya, tindakan hukum itu ditetapkan untuk menyelaraskan perubahan-perubahan sosial, yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan ruh syari’at Islam yang pada prinsipnya berdimensi ruang dan waktu.
Syria adalah negeri Muslim pertama yang membatasi praktek poligami, dengan memberi wewenang kepada peradilan untuk melarangan seseorang menikahi isteri lebih dan satu jika tidak mampu membiayai, melalui Dekrit Nomor 59 Tahun 1953. Ayat 17 Dekrit tersebut menyatakan: “Hakim berhak menolak izin seorang laki-laki yang telah menikah untuk mengawini perempuan lain jika ternyata laki-laki itu tidak mampu memberi nafkah dua orang isteri.” Dalam hal ini para ahli hukum di Syria, yang telah tercerahkan di negeri-negeri Barat, mempertahankan pendapat bahwa syarat yang ditetapkan al-Qur’an 4:3 harus dipandang sebagai persyaratan hukum positif yang mendahului pelaksanaan poligami. Ketetapan tersebut dipaksakan sedemikian rupa oleh pengadilan dengan ketentuan bahwa suami yang hendak kawin lagi dengan isteri berikutnya disyaratkan harus mendapat izin pengadilan. Orang yang melanggar undang-undang ini dianggap bersalah dan dikenakan sanksi hukum oleh pengadilan.[12]
Sementara itu, para ahli hukum di Tunisia bahkan melangkah lebih jauh dengan melarang sama sekali poligami karena dianggap bertentangan dengan penjelasan eksplisit al-Qur’an. Ayat 18 Undang-undang Tahun 1957 Tentang Kedudukan Perorangan menyatakan bahwa “poligami dilarang”. Setiap orang yang sudah masuk dalam satu ikatan perkawinan, lalu menikah lagi sebelum isteri yang terdahulu diceraikan, maka ia dapat dikenakan hukuman satu tahun penjara dan denda. Dalam hal ini para ahli hukum modern yang dipengaruhi tatanan kehidupan Barat menyatakan bahwa petunjuk al-Qur’an (4:3) itu tidak dihubungkan secara ketat sebagai peringatan moral melainkan sebagai persyaratan hukum yang mendahului poligami. Karenanya tidak akan ada perkawinan kedua yang dapat diperbolehkan sampai terbukti bahwa isteri-isteri itu akan diperlakukan secara adil.[13]
Sebagaimana Syria dan Tunisia, Maroko juga melarang poligami jika dikhawatirkan pelakunya tidak dapat berlaku adil. Ayat 30 Undang-undang Tahun 1958 Tentang Status Perorangan menyebutkan: “Poligami dilarang jika akan terjadi perlakukan tidak adil terhadap para isteri tersebut...” Undang undang juga memberi kewenangan kepada pengadilan untuk menjadi perantara dalam mengabsahkan perceraian berdasarkan perlakuan tidak adil yang didasarkan pada pendapat mazhab Maliki, serta membolehkan pihak isteri menuntut cerai bila tidak diberi nafkàh secara layak.[14]
Di negeri-negeri Muslim lainnya, poligami tidak dilarang secara ketat tetapi undang-undang menetapkan beberapa persyaratan prosedural yang harus dipenuhi laki-laki yang akan berpoligami. Pakistan,[15] misalnya, mensyaratkan izin tertulis dari dewan hakim kepada laki-laki yang ingin menikah lagi. Ayat 6 Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961 menyebutkan: Tidak seorang laki-laki pun kecuali terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari dewan hakim untuk menikah lagi.” Izin tersebut hanya dapat diberikan jika kondisi isteri itu sakit, cacat jasmani, atau mandul. Namun jika kondisi isteri normal, untuk memperoleh izin dewan hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin isteri.
Jika ketentuan ini tidak diindahkan, pelakunya dapat dikenakan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda semestinya.
Ketentuan-ketentuan tentang poligami yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam nampaknya tidak jauh berbeda dengan batasan-batasan yang diatur dalam Ordonansi Hukum Keluarga Muslim di Pakistan. Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan Indonesia membatasi poligami dalam dua hal, yaitu poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu (misalnya isteri tidak mungkin berperan sebagai isteri “normal”) dan poligami itu harus mendapat persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.[16]
Setelah mendapat persetujuan dari isteri atau isteri-isteri suami yang akan berpoligami, secara prosedural, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Meskipun demikian, pengadilan juga berhak memberikan izin berpoligami tanpa persetujuan isteri jika persetujuan itu tidak mungkin diperoleh atau karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari hakim. Tampaknya, persyaratan izin pengadilan agama untuk berpoligami dimaksudkan untuk terwujudkan prinsip keadilan serta melindungi hak-hak isteri pertama, kedua atau ketiga.[17]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam struktur keluarga Muslim poligami bukan merupakan suatu anjuran, apalagi perintah, melainkan suatu ‘kebolehan dalam kondisi tertentu. Pembolehan itu dimaksudkan untuk memberikan solusi bagi umat Islam dalam menghadapi problema keluarga di tengah kehidupan sosial. Dalam rangka mengaplikasikan ruh (semangat) ajaran Islam dalam kehidupan keluarga, pemikir-pemikir Muslim membatasi praktek poligami dengan persyaratan-persyaratan prosedural, yang diatur melalui peraturan perundang-undangan, dan kewenangan penerapannya dilimpahkan kepada pengadilan-pengadilan agama (mahkamah syar’iyah).
D. Alasan dan Prosedur Mengajukan Poligami.
Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 menetapkan tentang kebolehan seseorang untuk beristeri lebih dari seseorang. Akan tetapi kebolehan sesorang untuk berpoligami itu harus ditetapkan oleh pengadilan yang mempertimbangkan dengan matang apakah yang bersangkutan patut dan layak untuk mempunyai isteri lebih dari satu orang.
Dalam hal ini, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, melindungi isteri pertama dan isteri-isteri selanjutnya dari kemungkinan suami melakukan penyimpangan dari ketentuan keharusan untuk berlaku adil sebagaimana yang dimaksud dalam surat an-Nisa’ ayat 3. UU No. 1 tahun 1974 mengatur secara rinci alasan-alasan yang dibenarkan untuk berpoligami serta bagaimana prosedur pengajuan izin poligami ke Pengadilan, yakni pasal 3 s/d 5, sebagai berikut:
Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Pengaturan poligami ini lebih lanjut dijelaskan dalam PP No. 9 tahun 1975 yakni dimulai pada bab VIII.
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: -bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; -bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; -bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i.surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau iii.surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Sementara Kompilasi Hukum Islam mengatur persoalan poligami ini pada Bab IX, pasal 55 s/d 59, sebagai berikut:
BAB IX
BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG
Pasal 55
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersama, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang tersebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 56
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57
Pengadilan hanya memberikan izin kepada izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasa 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu:
a. adanya persetujuan isteri.
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57 Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
Dengan dilibatkannya campur tangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, poligami tidak lagi tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan negara yakni dengan keharusan adanya izin Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Tanpa adanya izin Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, maka perkawinannya tersebut dianggap poligami liar dan perkawinan yang seperti itu dapat saja dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan.






footnoote

[1] Jami’ al-Huquq al-Mahfudzah, al-Kutub al-Tis’ah, Compact Disk, Beirut: Edisi 1991-1996.

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 200
[3] Ibid.

[4] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 1996), h. 45.
[5] Abbas Mahmud al-Aqad, al-Falsafah al-Qanuniyyah, (Kairo: Dar al-Hilal, 1996), h. 112.

[6] Akbar Ahmed, Living Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 2.
[7] Ibid., h. 3-4.

[8]Abbas Mahmud al-‘Aqad, op.cit., h. 114.
[9] M. Quraish Shihab, op.cit., h. 89.

[10] Abbas Mahmud al-Aqad, op.cit., h. 118.
[11] Akbar S. Ahmed, Pukhtun Economy and Society: Traditional Structur and Economic Development in a Tribal Society, (London: Routledge, 1980), h. 50.
[12] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombai: N.M Tripathi. LTD,1972), h. 87.
[13] Ibid., h. 101.
[14] Ibid., h. 117-118.
[15] Ibid., h.249.

[16] Lihat: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 65. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 40-44. Kompilasi Hukum Islam, Buku I, Pasal 55-58.
[17] Ibid.

Kumpulan Foto ......