Kamis, 30 April 2009

POLIGAMI

Oleh: Fakhrurazi

A. Dasar Hukum Poligami
Barangkali lembaga ini merupakan salah satu ajaran Islam yang paling disalahpahami dan paling keras dikecam oleh orang-orang non muslim. Tapi tentunya tuduhan ini tidak berdasar sama sekali karena dilontarkan dengan dasar tidak sukanya kepada Islam. Bahwa Islam mengakui eksistensi poligami, benar adanya. Namun penggunaan dan pemahaman lembaga tersebut jauh dari stereotip barat. Dalam Islam Poligami bukan sebuah keharusan dan bukan pula praktek universan. Ia lebih dipandang sebagai pengecualian bagi norma monogami, dan pelaksanaannya secara kuat dikendalikan oleh tekanan-tekanan sosial.
Dasar hukum kebolehan poligami dalam Islam diatur dalam surat al-Nisa ayat 3:

وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى
وثلا ث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أوما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعوالوا

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada berbuat aniaya (Q.S.4:3).

Berdasarkan ayat ini Rasulullah Saw melarang seorang pria menghimpun lebih dan empat orang isteri pada saat yang sama. Ketika ayat itu turun, Rasulullah memerintahkan setiap pria yang rnemiliki lebih dan empat orang isteri agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang (pria) hanya memperisterikan empat orang wanita. Ketentuan ini ditegaskan melalui ucapannya:
عن عبد الله بن عمر ان غيلان بن سلمة اسلم و له عشر نسوة فاسلمن معه فامره النبى ص م ان يتخير منهن اربعا. (رواه احمد والترمذى)[1]
Dari Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Ghilan ibn Salamah masuk Islam, dia mempunyai sepuluh orang isteri yang masuk Islam bersamanya, maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memilih empat orang (isteri) saja. (HR. Ahmad, Turmidzi).

Secara tekstua!, ayat 3 surat an-Nisa’ dan Hadis di atas merupakan dasar hukum kebolehan poligami. Namun, seperti dijelaskan M. Quraish Shihab, makna ayat tersebut sering disalahpahami. Lebih lanjut Shihab menguraikan bahwa ayat itu turun menyangkut sikap sebagian orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Jadi, pada dasarnya, ayat tersebut turun untuk menolak persepsi keliru sebagian umat Islam ketika itu. Penyebutan dua, tiga, atau empat secara esensial adalah penegasan dan tuntutan berlaku adil terhadap mereka (anak-anak yatim).[2]

Di sisi lain, secara historis poligami sudah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam dengan berpedoman pada syariat dan adat istiadat yang berlaku pada masa itu. Kitab suci Yahudi dan Nasrani tidak melarang praktek poligami. Mengawini lebih dan satu isteri sudah menjadi jalan hidup yang diakui keberadaannya. Semua Nabi yang disebutkan dalam Kitab Talmut dan Perjanjian Lama mempunyai lebih dan satu isteri.

Poligami juga dikenal di kalangan bangsa Medes, Babilonia, Abbesinia, dan Persia. Bahkan poligami yang dipraktekkan bangsa Yunani terkesan sangat tidak manusiawi. Bangsa Yunani bukan saja memiliki seorang isteri yang dapat dipertukarkan dengan yang lain, tetapi juga dapat diperjualbelikan di antara mereka pada umumnya. Di kalangan bangsa Arab Jahiliah, mengawini sejumlah wanita merupakan hal lumrah dan mereka menganggap wanita-wanita itu sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.[3]

Agaknya, karena kenyataan sejarah tersebut maka al-Quran (Q.S.4:3) tidak menetapkan suatu peraturan tentang poligami. Hal ini terlihat dari makna (kandungan) ayat tersebut yang tidak menyiratkan unsur-unsur perintah atau anjuran tetapi unsur kebolehan.
Kebolehan itu pun bukan kebolehan mutlak, tetapi kebolehan bersyarat; untuk memenuhi kebutuhan mendesak (sebagian anggota) masyarakat disertai tanggung jawab berat bagi pria yang me!akukannya.[4] Kebolehan untuk berpoligami itu disertai dengan sebuah persyaratan yang cukup berat, yakni kemampuan untuk berlaku adil terhadap para isteri, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas. Dalam surat an-Nisa’ ayat 129 Allah kembali menegaskan:

....فلا تميلوا كل الميل فتذرواها كالمعلقة ...

“Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Maksud ayat di atas adalah cenderung dalam pembagian giliran dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena penyamaan dalam hal cinta adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Jadi keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang membolehkan poligami adalah keadilan dalam bidang Materil.
Peringatan Allah kepada mereka yang berpoligami untuk berlaku adil, dipertegas oleh hadis Nabi:

عن ابى هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له امرأتان فمال الى احداهما دون الاخرى جاء يوم القيامة وشقه مائل.
“Dari Abu Hurairah r.a: Sesungguhnya Nabi S.A.W, bersabda: Barang siapa punya dua isteri, lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya tanpa yang lainnya, maka dia akan datang padahari kiamat kelak dengan keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Ahmad dan al-arba’ah (perawi yang empat, yaitu: Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasa’i dan Ibn Majah).

Hadis ini sekaligus juga menjadi dalil kewajiban suami yang berpoligami untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan haram baginya untuk larangan untuk cenderung kepada salah satu dari mereka.
Keadilan yang dituntut oleh Allah dalam firmannya di atas serta hadis Nabi sama sekali tidak bertentangan dengan firman Allah dalam al-Nisa’ ayat 129:
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم.....(النساء : 129).
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian .“ (Q.S. 4:129)

Keadilan yang dimaksud ayat di atas dan mustahil untuk mewujudkannya adalah adil dalam masalah cinta. Oleh karena itu tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai argumentasi dan dasar hukum ditutupya pintu poligami serapat-rapatnya.
Perlu diketahui, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna adil yang dimaksud dalam firman Allah di atas. Adil disini adalah adil secara lahir yakni keadilan yang dapat dilakukan oleh manusia, seperti adil dalam masalah pembagian giliran, nafkah, tempat tinggal dan sebagainya, jadi bukan adil secara batin, karena Allah sendiri sudah menjamin bahwa dalam persoalan adil dengan makna ini, tidak akan ada seorang pun yang punya
kemampuan untuk itu, termasuk Rasulullah sendiri.
Al-Quran membolehkan poligami dalam kondisi tertentu (dharurah) sebagai solusi untuk mengatasi kebuntuan kehidupan keluarga; misalnya jika isteri tidak sanggup menyalurkan kebutuhan biologis atau tidak mampu memberikan keturunan. Dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi ideal, namun hal itu sangat tergantung pada pertimbangan setiap Muslim. Artinya, poligami tidak merupakan anjuran apalagi perintah. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menghendaki solusi seperti itu.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami surat an-Nisa’ ayat 3, yakni mengenai jumlah isteri yang diperbolehkan untuk berpoligami. Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh karena berbedanya mereka dalam memahami makna kata matsna wa sulasa wa ruba’a. Namun pendapat yang terkuat adalah bahwa jumlah isteri yang diperbolehkan dalam berpoligami itu adalah empat orang. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Argumentasi dan dalil yang digunakan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 :
....فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلا ث ورباع...
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat
Huruf wau(و) , dalam kata matsna wa sulasa wa ruba’a menempati atau bermakna huruf aw ( أو) yang artinya “atau”. Jadi huruf wau disini tidak diartikan menurut arti aslinya, yaitu “dan”. Demikian juga arti matsna, sulasa, ruba’a dimaksudkan disini dengan arti dua, tiga dan empat.
Pendapat ini didasari oleh adanya hadis berikut:
عن عبد الله بن عمر ان غيلان بن سلمة اسلم و له عشر نسوة فاسلمن معه فامره النبى ص م ان يتخير منهن اربعا. (رواه احمد والترمذى)
Dari Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Ghilan ibn Salamah masuk Islam, dia mempunyai sepuluh orang isteri yang masuk Islam bersamanya, maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memilih empat orang (isteri) saja. (HR. Ahmad, Turmidzi)
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibn Majah:
عن قيس بن الحارث قال: اسلمت وعندى ثمان نسوة , فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت ذالك له , فقال: اختر منهن اربعا .
“ dari Qais bin Haris, ia berkata: Aku masuk Islam sedangkan aku mempunyai delapan isteri, lalu aku datang mengunjungi Nabi SAW, dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “pilihlah empat orang di antara mereka ”.
B. Polemik Seputar Poligami
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengaruh ide-ide Barat terhadap dunia Arab dan Islam merupakan salah satu motor (penggerak) modernisasi hukum Islam. Dalam masalah poligami, para ilmuwan muslim melakukan reinterpretasi terhadap teks al-Quran surat al-Nisa’ ayat 3 serta mencari korelasi dengan ayat 129 pada surat yang sama. Ada perbedaan antara kalangan tradisionalis dan modernis dalam menafsirkan ayat tersebut.
Diskusi di kalangan tradisionalis (seperti yang terdapat dalam karya-karya tafsir lama) terfokus pada apakah formula yang ada dalam teks ayat tersebut secara implisit mengandung pengertian tidak membatasi poligami ataukah membatasi secara legal tentang jumlah isteri sampai empat orang. Adapun perdebatan yang berkembang di kalangan modernis lebih mengarah pada apakah al-Quran membolehkan poligami?
Abdul Aziz Fahmi (ilmuwan dan Menteri Kehakiman Mesir dari 13 Maret s/d 5 September 1925) mengemukakan pandangan radikal dengan menyebutkan bahwa poligami dilarang secara eksplisit dalam al-Quran. Sebagai argumentasi ia menyebutkan korelasi antara ayat 129 dan ayat 3 surat an-Nisa’ jelas mengesankan adanya pelarangan itu. Walaupun Fahmi secara eksklusif mendasarkan pemikirannya pada teks al-Qur’an dan deduksi-deduksi lengkap yang diambil dari sejarah Islam, dalam berbagai polemik Ia tetap dituduh sangat terpengaruh Barat.[5]
Ahmad Muhammad Jamal menilai bahwa Abdul Aziz Fahmi pernah menawarkan pandangan mengagumkan (ra’y ‘ajib), yaitu perlunya mengganti alfabet Arab dengan alfabet latin. Jelas sekali, serangan itu dimaksudkan untuk mendiskreditkan Fahmi dengan mengeksposkan bahwa ia seorang westernis.[6] Sebagai polemis cerdik, secara sinis Jamal menyebut pandangan Fahmi tentang poligami dengan a’jab (sangat mengagumkan). Uniknya, Jamal tidak saja menyerang Fahmi melalui argumentasi interpretatif belaka, tetapi juga dengan alasan yang didasarkan pada apa yang dalam pandangannya secara sosial diperlukan. Menurut Jamal, suatu masyarakat yang membolehkan poligami justru lebih adil dibandingkan dengan masyarakat yang melarang praktek tersebut. Sebab, hal itu sangat memungkinkan terciptanya situasi yang diinginkan, yaitu adanya solusi lebih baik dengan diperboleh-kannya seorang suami mengambil isteri kedua daripada terjadinya perceraian. Bagi Jamal, secara moral poligami tidak lebih rendah dari monogami sebab ia justru dapat menghilangkan sikap munafik dalam praktek monogami.[7]
Muhammad Abduh melarang poligami, karena praktek poligami, pada zamannya, sudah melenceng dari dasar pensyariatan poligami pada masa Rasulullah, kalau pada masa Rasul, poligami dengan tujuan untuk memelihara anak yatim, janda-janda yang terlantar dan untuk dakwah Islam. Sedangkan pada masa Abduh, pada umumnya poligami dilakukan karena faktor syahwat semata.[8]
Sebaliknya, Rasyid Ridha berupaya memperkokoh Islam dengan menyoroti ketidakadilan kritik Barat dan kaum misionaris terhadap kebolehan poligami yang mereka anggap sebagai kesalahan Islam. Menurut Ridha, para pengritik Barat itu menganut asas kemunafikan. Di satu sisi mereka melarang poligami, namun di sisi lain, secara tersembunyi membolehkan praktek perzinaan. Dalam konteks ini Ridha tidak banyak memberikan interpretasi terhadap teks al-Quran, tetapi lebih banyak menyoroti aspek differensial antara akibat pembolehan poligami dalam Islam dan akibat pelarangan masalah tersebut dalam komunitas Barat.[9]
Negeri-negeri Kristen memang memperlihatkan praktek monogami yang besar, namun sebenarnya mereka melakukan poligami terselubung. Tidak seorang Kristen pun menyadari akan peranan para gundik dalam kehidupan komunitas mereka. Sebaliknya, pembolehan poligami dalam komunitas Muslim justru dapat mencegah terjadinya praktek zina dan prostitusi.
Seperti halnya Ridha, Abbas Mahmud Aqqad juga menanggapi kritik Barat dengan mengemukakan argumentasi komparatif, bukan melalui reinterpretasi teks al-Quran. Aqqad mengatakan, menuduh Barat tidak mempunyai hak mengeritik praktek poligami di kalangan Muslim adalah sesuatu yang tidak beralasan, tetapi Kristen pun sama sekali tidak pantas mendapat pujian karena melarang poligami. Sebab, pelarangan Kristen sesungguhnya tidak didasarkan pada ketinggian moralitas agama Kristen, tetapi justru sebaliknya. Kebanyakan pemimpin gereja dan ahli agama Kristen, menurut Aqqad, memandang kaum wanita sangat rendah (mereka dianggap sebagai setan) sehingga harus dimiliki sedikit mungkin oleh kaum pria. Tampaknya, Aqqad ingin menunjukkan bahwa pembolehan poligami di kalangan Muslim justru memperlihatkan ketinggian moralitas dan penghargaan terhadap wanita.[10]
Uraian di atas menunjukkan bahwa polemik seputar poligami bermuara pada dua pandangan. Pandangan pertama cenderung memahami teks al Quran an-Nisa’ : 3 dan 129, secara eksplisit, mengandung pelarangan poligami. Sementara pandangan kedua (walaupun dengan argumentasi berbeda) menyebutkan, ruh al-Qur’an yang sesungguhnya adalah monogami karena pernikahan dengan lebih dan satu isteri tergantung pada persamaan dan keadilan mutlak antara isteri-isteri.
Persyaratan itu (keadilan dan persamaan) hampir tidak mungkin diwujudkan dalam kehidupan sosial Muslim, sebagaimana diisyaratkan al-Quran (QS. 4: 129). Oleh karena itu, seorang pria Muslim hendaknya membatasi diri dengan monogami. Sebab menikahi lebih dan seorang isteri, tanpa dibarengi kemampuan berlaku adil sama artinya dengan menjerumuskan diri ke dalam posisi yang mustahil.
Pengaruh modernitas terhadap dunia Islam, yang berakibat meningkatnya pendidikan wanita dan munculnya reorientasi pemahaman keagamaan, berdampak menurunnya frekuensi praktek poligami di dunia Islam. Melalui studi antropologisnya di Pakistan, Akbar S. Ahmad menemukan bahwa hanya 0,02 persen pria yang melakukan poligami, sedangkan mayoritas mereka menganut monogami. Temuan Ahmed, paling tidak, mengandung dua kemungkinan. Pertama; mayoritas pria Muslim Pakistan sudah memahami dan menyadari substansi poligami dalam Islam. Kedua; perubahan kecenderungan, dari kecenderungan berpoligami kepada kecenderungan monogami, akibat perubahan pola pikir yang dipengaruhi oleh tatanan kehidupan modern.[11]
Terlepas dari valid tidaknya analisis ini, yang jelas dalam pandangan kaum modernis, poligami hanya dibolehkan kalau memang dapat menjadi salah satu solusi bagi problematika perkawinan; misalnya akibat kebutuhan suami tidak terpenuhi oleh isteri atau isteri tidak mampu memberikan keturunan. Perubahan pandangan ini, dari pembolehan poligami secara umum ke pembatasannya sebagai dharurah, lebih dimotivasi oleh perubahan sosial, akibat pengaruh ide-ide Barat terhadap nilai sosial komunitas Muslim, daripada penafsiran al-Quran. Jadi dalam konteks kekinian, “poligami terbatas’ merupakan kebutuhan realistis keadaan tertentu. Lagi pula, poligami terbatas dipandang lebih baik dan lebih etis dibandingkan poligami tersembunyi tanpa tanggung jawab, yang dalam beberapa kasus diterima dalam kehidupan masyarakat Barat.
C. Poligami dalam Perundang-Undangan Negeri Muslim
Pada dasarnya modernisasi hukum keluarga Islam bertujuan untuk meningkatkan status kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga inti atas hak-hak anggota keluarga yang lebih besar. Modernisasi ini terjadi dalam tiga bidang; perkawinan, perceraian, dan kewarisan.
Di antara perubahan-perubahan penting dalam bidang hukum perkawinan adalah pembatasan poligami. Pembatasan ini, antara lain, ditandai dengan adanya tindakan-tindakan hukum yang menyatakan bahwa seorang suami harus mendapatkan izin dari pengadilan untuk berpoligami. Tampaknya, tindakan hukum itu ditetapkan untuk menyelaraskan perubahan-perubahan sosial, yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan ruh syari’at Islam yang pada prinsipnya berdimensi ruang dan waktu.
Syria adalah negeri Muslim pertama yang membatasi praktek poligami, dengan memberi wewenang kepada peradilan untuk melarangan seseorang menikahi isteri lebih dan satu jika tidak mampu membiayai, melalui Dekrit Nomor 59 Tahun 1953. Ayat 17 Dekrit tersebut menyatakan: “Hakim berhak menolak izin seorang laki-laki yang telah menikah untuk mengawini perempuan lain jika ternyata laki-laki itu tidak mampu memberi nafkah dua orang isteri.” Dalam hal ini para ahli hukum di Syria, yang telah tercerahkan di negeri-negeri Barat, mempertahankan pendapat bahwa syarat yang ditetapkan al-Qur’an 4:3 harus dipandang sebagai persyaratan hukum positif yang mendahului pelaksanaan poligami. Ketetapan tersebut dipaksakan sedemikian rupa oleh pengadilan dengan ketentuan bahwa suami yang hendak kawin lagi dengan isteri berikutnya disyaratkan harus mendapat izin pengadilan. Orang yang melanggar undang-undang ini dianggap bersalah dan dikenakan sanksi hukum oleh pengadilan.[12]
Sementara itu, para ahli hukum di Tunisia bahkan melangkah lebih jauh dengan melarang sama sekali poligami karena dianggap bertentangan dengan penjelasan eksplisit al-Qur’an. Ayat 18 Undang-undang Tahun 1957 Tentang Kedudukan Perorangan menyatakan bahwa “poligami dilarang”. Setiap orang yang sudah masuk dalam satu ikatan perkawinan, lalu menikah lagi sebelum isteri yang terdahulu diceraikan, maka ia dapat dikenakan hukuman satu tahun penjara dan denda. Dalam hal ini para ahli hukum modern yang dipengaruhi tatanan kehidupan Barat menyatakan bahwa petunjuk al-Qur’an (4:3) itu tidak dihubungkan secara ketat sebagai peringatan moral melainkan sebagai persyaratan hukum yang mendahului poligami. Karenanya tidak akan ada perkawinan kedua yang dapat diperbolehkan sampai terbukti bahwa isteri-isteri itu akan diperlakukan secara adil.[13]
Sebagaimana Syria dan Tunisia, Maroko juga melarang poligami jika dikhawatirkan pelakunya tidak dapat berlaku adil. Ayat 30 Undang-undang Tahun 1958 Tentang Status Perorangan menyebutkan: “Poligami dilarang jika akan terjadi perlakukan tidak adil terhadap para isteri tersebut...” Undang undang juga memberi kewenangan kepada pengadilan untuk menjadi perantara dalam mengabsahkan perceraian berdasarkan perlakuan tidak adil yang didasarkan pada pendapat mazhab Maliki, serta membolehkan pihak isteri menuntut cerai bila tidak diberi nafkàh secara layak.[14]
Di negeri-negeri Muslim lainnya, poligami tidak dilarang secara ketat tetapi undang-undang menetapkan beberapa persyaratan prosedural yang harus dipenuhi laki-laki yang akan berpoligami. Pakistan,[15] misalnya, mensyaratkan izin tertulis dari dewan hakim kepada laki-laki yang ingin menikah lagi. Ayat 6 Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961 menyebutkan: Tidak seorang laki-laki pun kecuali terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari dewan hakim untuk menikah lagi.” Izin tersebut hanya dapat diberikan jika kondisi isteri itu sakit, cacat jasmani, atau mandul. Namun jika kondisi isteri normal, untuk memperoleh izin dewan hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin isteri.
Jika ketentuan ini tidak diindahkan, pelakunya dapat dikenakan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda semestinya.
Ketentuan-ketentuan tentang poligami yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam nampaknya tidak jauh berbeda dengan batasan-batasan yang diatur dalam Ordonansi Hukum Keluarga Muslim di Pakistan. Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan Indonesia membatasi poligami dalam dua hal, yaitu poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu (misalnya isteri tidak mungkin berperan sebagai isteri “normal”) dan poligami itu harus mendapat persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.[16]
Setelah mendapat persetujuan dari isteri atau isteri-isteri suami yang akan berpoligami, secara prosedural, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Meskipun demikian, pengadilan juga berhak memberikan izin berpoligami tanpa persetujuan isteri jika persetujuan itu tidak mungkin diperoleh atau karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari hakim. Tampaknya, persyaratan izin pengadilan agama untuk berpoligami dimaksudkan untuk terwujudkan prinsip keadilan serta melindungi hak-hak isteri pertama, kedua atau ketiga.[17]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam struktur keluarga Muslim poligami bukan merupakan suatu anjuran, apalagi perintah, melainkan suatu ‘kebolehan dalam kondisi tertentu. Pembolehan itu dimaksudkan untuk memberikan solusi bagi umat Islam dalam menghadapi problema keluarga di tengah kehidupan sosial. Dalam rangka mengaplikasikan ruh (semangat) ajaran Islam dalam kehidupan keluarga, pemikir-pemikir Muslim membatasi praktek poligami dengan persyaratan-persyaratan prosedural, yang diatur melalui peraturan perundang-undangan, dan kewenangan penerapannya dilimpahkan kepada pengadilan-pengadilan agama (mahkamah syar’iyah).
D. Alasan dan Prosedur Mengajukan Poligami.
Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 menetapkan tentang kebolehan seseorang untuk beristeri lebih dari seseorang. Akan tetapi kebolehan sesorang untuk berpoligami itu harus ditetapkan oleh pengadilan yang mempertimbangkan dengan matang apakah yang bersangkutan patut dan layak untuk mempunyai isteri lebih dari satu orang.
Dalam hal ini, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, melindungi isteri pertama dan isteri-isteri selanjutnya dari kemungkinan suami melakukan penyimpangan dari ketentuan keharusan untuk berlaku adil sebagaimana yang dimaksud dalam surat an-Nisa’ ayat 3. UU No. 1 tahun 1974 mengatur secara rinci alasan-alasan yang dibenarkan untuk berpoligami serta bagaimana prosedur pengajuan izin poligami ke Pengadilan, yakni pasal 3 s/d 5, sebagai berikut:
Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Pengaturan poligami ini lebih lanjut dijelaskan dalam PP No. 9 tahun 1975 yakni dimulai pada bab VIII.
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: -bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; -bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; -bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i.surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau iii.surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Sementara Kompilasi Hukum Islam mengatur persoalan poligami ini pada Bab IX, pasal 55 s/d 59, sebagai berikut:
BAB IX
BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG
Pasal 55
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersama, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang tersebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 56
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57
Pengadilan hanya memberikan izin kepada izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasa 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu:
a. adanya persetujuan isteri.
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57 Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
Dengan dilibatkannya campur tangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, poligami tidak lagi tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan negara yakni dengan keharusan adanya izin Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Tanpa adanya izin Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, maka perkawinannya tersebut dianggap poligami liar dan perkawinan yang seperti itu dapat saja dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan.






footnoote

[1] Jami’ al-Huquq al-Mahfudzah, al-Kutub al-Tis’ah, Compact Disk, Beirut: Edisi 1991-1996.

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 200
[3] Ibid.

[4] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 1996), h. 45.
[5] Abbas Mahmud al-Aqad, al-Falsafah al-Qanuniyyah, (Kairo: Dar al-Hilal, 1996), h. 112.

[6] Akbar Ahmed, Living Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 2.
[7] Ibid., h. 3-4.

[8]Abbas Mahmud al-‘Aqad, op.cit., h. 114.
[9] M. Quraish Shihab, op.cit., h. 89.

[10] Abbas Mahmud al-Aqad, op.cit., h. 118.
[11] Akbar S. Ahmed, Pukhtun Economy and Society: Traditional Structur and Economic Development in a Tribal Society, (London: Routledge, 1980), h. 50.
[12] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombai: N.M Tripathi. LTD,1972), h. 87.
[13] Ibid., h. 101.
[14] Ibid., h. 117-118.
[15] Ibid., h.249.

[16] Lihat: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 65. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 40-44. Kompilasi Hukum Islam, Buku I, Pasal 55-58.
[17] Ibid.

Senin, 20 April 2009

Abortus dan Menstrual Regulation

Ditulis oleh Qultum News User
Terakhir Diperbaharui Friday, 23 November 2007


I. Abortus dan Menstrual Regulation Menurut hukum Di Indonesia
Abortus menurut Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), ialah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dan menurut Moryono Reksodipura (Faultas Hukum UI) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).
Metode yang di pakai untuk abortus biasanya ialah:
1. Curatage & Dilatage (C&D).
2. Dengan alat khusus, mulut rahim di lebarkan, kemudian janin di kiret (di-curet) dengan alat seperti sendok kecil.
3. Aspirasi, penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
4. Hysterotami (melalui operasi).
Abortus (pengguguran) ada 2 (dua) macam, ialah:
1. Abortus spontan (spontaneus abortus), ialah abortus yang tidak di sengaja. Abotus spontan bisa terjadi karena penyakit syphilis, kecelakaan dan sebagainya.
2. Abortus yang disengaja (abortus provocatus/induced proabortion). Dan abortus macam kedua ini ada 2 (dua) macam, ialah:
a. Abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokteer atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diterusan bisa membahayakan jiwa si calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat dan penyakit gijal yang berat.
b. Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya abortus yang dilakukan unatuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehmilan yang tidak dikehendaki. Menstrual regulation secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/had, tetapi dalam praktek menstrual regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terhambat waktu menstruasi, dan berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai mengandung, kemudian ia minta “ ibereskan janinnya” itu. Maka jelaslah bahwa menstrual regulation itu pada hakikatnya adalah abortus provocatus criminalis, sekalipun dilakukan oleh dokter. Karena itu, abortus dan mentrual regulation itu pada hakikkatnya adalah pembunuhan janin secara terselubung. Karena itu, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, 346, 348 dan 349 negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sangsi hukumannya cukupberat, bahkan hukumannya tidak hanya di tujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat di tuntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan sebagainya yang mengobati atau menyuruh atau yang mambantu atau yang melakukannaya sendiri.
Marilah kita perhatikan pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan abortus (pengguguran) sebagai berikut.
Pasal 299
(1)Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulakan harapan, bahwa dengan pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, di ancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika ia seorang tabib, bidan atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah, melakuakan kejahatan tersebut; dalam mejalankan pencarian, maka dapat di cabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 (1): Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidina penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 (1): Barang siapa menggugurkan kandungan atau mematikan seoramg wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbutan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara palang lama tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, atau pun melakukan membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang di tentukan dalam pasal itu dapat di tambah dengan sepertiga atau di cabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan di lakukan. )
Pasal-pasal tersebut merumuskan dengan tegas tanpa pengecualian bahwa barang siapa memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut diacam dengan hukuman sampai lima belas tahun; bahkan bagi dokter, bidan atau tukang obat yang melakukan atau membantu melakukan abortus, pidananya bisa di tambah sepertiga dan bisa dicabut haknya untuk melakukan praktek profesinya.

Teuku Amir Hamzah dalam disertasinya berjudul: Segi-segi Hukum Pidana pengaturan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan menganggap perumusan KUHP tersebut sangat ketat dan kaku, dan hal ini sangat tidak menguntungkan bagi profesi dokter serta dapat menimbulkan rasa cemas dalam melakukan profesinya.
Di satu pihak dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup insani sesuai dengan sumpahnya; namun, dilain pihak dokter dibayangi ancaman hukuman. Menurut Hamzah, ada beberapa alasan yang membenarkan pengguguran kandungan dengan pertimbangan kesehatan, antara lain sebagi berikut:
1. Ajaran sifat melawan hukum meteriil sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 24K/Kr 2965 tanggal 8 Januari 1966 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 81K/Kr 1973 tanggak 30 Maret 1977. Ajaran sifat melawan hukum materiil dimaksud adalah, “Sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarakan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum yang mengandung unsur-unsur: negara ini dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.
2. Penjelasan pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indinesia 1983, yang menyatakan, larangan pengguguran kandungan tidak mutlak sifatnyaa, dan dapat dibenarkan sebagai tindakan pengobatan, yaitu sebagai satu- satunya jalan untuk menolong si ibu.
Akhirnya, Hamzah menyarankan agar di buat pengecualian dalam KUHP sehingga pengguguran kandungan yang dilakukan dokter atas pertimbangan kesehatan dapat dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum. )
Tetapi sementara ini di kalangan ahli hukum di Indonesia yang mempunyai ide atau saran agar abortus itu dapat dilegalisasi seperti di negara maju/sekuler, berdasarkan pertimbangan antara lain; bahwa kenyataan abortus tetap dilakukan secara ilegal dimana-mana dan kebanyakan dilakukan oleh tenaga-tenaga nonmedis, seperti dukun, sehingga
bisa membawa resiko besar berupa kematian atau cacat berat bagi wanita yang bersangkutan. Maka sekiranya abortus dapat dilegalisasi dan dapat dilakukan oleh dokter yang ahli, maka resiko tersebut dapat dihindari atau dikurangi.
Pendukung ide legalisasi abortus itu menghendaki pasal-pasal KUHP yang melarang abortus dengan sangsi-sangsinya itu hendak di revisi, kerena juga dapat dipandang bisa menghambat pelaksanaan program Keluarga Berencana dan kependudukan.
Menurat penulis (Masjfuk Zuhdi), pasal-pasal KUHP yang melarang abortus hendaknya tetap di pertahankan dan penulis dapat menyetujui saran Hamzah agar di buat pengecualian dalam KUHP, sehingga pengguguran kamdungan yang benar-benar dilakukan atas indikasi medis dapat di benarkan. Dan apabila tanpa indikasi medis, maka abortus dan juga menstrual regulation merupakan perbutan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan moral pancasila dan moral agama, dan mempunyai dampak yamg sangat negatif berupa dekadendi moral terutama di kalangan remaja dan pemuda, sebab legalisasi abortus dapat medorang keberanian orang untuk melakukan hubungan seksual sebelum nikah (Free sex, Kumpul kebo).

II. Abortus dan Menstrual Regulation Menurut Pandangan Islam
Apabila abortus dilakukan sebelum diberi ruh/nyawa pada janin (embrio), yaitu sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa pendapat. Ada ulama yang membolehkan abortus, antara lain Muhammad Ramli dalam kitab Al-Nihayah (meninggal tahun 1596) dengan alasan, karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada ulama yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Dan ada pula yang mengharamkannya antara lain Inbu Hajar (wafat pada Th 1567) dalam kitabnya Al-Tuhfah dan Al-Gozali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin. Dan apabila abortus dilakukan sesudah janin bernyawa atau berumur 4 bulan, maka dikalangan ulama telah ada ijma (konsensus) tentang haramnya abortus. )

Menurut hemat penulis (Masjfuk Zuhdi) pendapat yang benar adalah seperti yang diuraikan oleh Muhammad Syaltut eks Rektor Unipersitas Al-Azhar Mesir, bahwa sejak bertemunya sel sperma (mani lelaki) dengan ovum (sel telur wanita), maka pengguguran adalah suatu kejahatan dan haram hukumnya, sekalipun si janin belum diberi nyawa, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi mekhluk baru yang bernyawa bernama manusia, yang harus di hormati dan dilindungi eksistensinya. Dan makin jahat dan makin besar dosanya, apabila penggugurang dilakukan setelah janin bernyawa, apa lagi sangat besar dosanya kalau sampai di bunuh atau dibuang bayi yang baru lahir dari kandungan.
Tetapi apabila pengguguran itu dilakukan benar-benar terpaksa demi melindungi /menyelamatkan si ibu, maka Islam membolehkan, bahkan mengharuskan, kerena Islam mempunyai prinsip:

“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib”.
Jadi dalam hal ini, Islam tidak membenarkan tindakan menyelamatkan janin dengan mengorbankan si calon ibu, kerena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingit dia merupakan tiang/sendi keluarga (rumah tangga) dan dia telah mempunyai beberapa hak dan
kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Berbeda dengan si janin, selama ini belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, ia tidak/belum mempunyai hak, seperti hak waris, dan juga belum mempunyai kewjiban apa pun. )
Mengenai menstrual regulation, Islam juga melarangnya, karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia tetap berhak survive lahir dalam keadaan hidup, sekalipun dalam eksistensinya hasil dari hubungan tidak sah (di luar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci (tidak bernoda). ) Sesuai dengan hadis Nabi: “Semua anak
dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas omongannya. Kemudian orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (Hidis riwayat Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al- Aswad bin Sari’)”.

Yang dimaksud dengan fitrah dalam hadis ini ada dua pengertian, yaitu:
1. Dasar pembawaan manusia (human nature) yang religius dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar
pembawaannya adalah makhluk yang beragama dan percaya pada keesaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid khalis). )
2. Kesucian/kebersihan (purity), artinya behwa semua anak manusia di lahirkan dalam keadaan suci/bersih dalah segala macam dosa.



*) Dikutif dari buku "Married by Accident" Qultummedia 2006 ™

Selamat Datang di Blog razichania.blogspot.com: Kompensasi Materi Terhadap Nafkah Batin Mungkinkah … ?

Selamat Datang di Blog razichania.blogspot.com: Kompensasi Materi Terhadap Nafkah Batin Mungkinkah … ?

Nafkah dalam Peraturan Perundang-undangan

Oleh: Fakhrurazi

1. Ketentuan Nafkah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 [1] yang merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama hanya mengatur secara umum hak dan kewajiban suami isteri. Ketentuan tentang hal ini dapat dijumpai dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Pada pasal 30 dijelaskan:
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”
Undang-undang ini terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat yang memandang bahwa melaksanakan perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan sebagian dari ketentuan agama, karena itu seluruh kewajiban yang timbul sebagai akibat perkawinan harus dipandang sebagai kewajiban luhur untuk menegakkan masyarakat.
Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga[2] dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan ‘ibu rumah tangga’ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja di luar rumah tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. Sebagai isteri ia berhak melakukan pekerjaan di luar rumah tangga asal saja ia tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung cinta, kasih sayang di antara suami dan anak dalam usaha mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedang suami sebagai pemimpin[3] menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan isteri dan keluarga disertai nasehat dan perhatian dalam usahanya secara bersama dengan isteri untuk kebahagiaan rumah tangga.
Untuk mengembangkan fungsi masing-masing, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1) yang ditentukan secara bersama-sama (pasal 32 ayat 2). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan hukum perdata[4] dan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang mengharuskan isteri tinggal di rumah suaminya. Undang-undang menganggap musyawarah dalam menentukan tempat tinggal adalah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yang menempatkan suami dalam kedudukan seimbang dalam melakukan setiap perbuatan yang mempunyai akibat hukum kepada suami isteri tersebut.
Ketentuan tentang hak dan kewajiban juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu pada pasal 33 yang berbunyi:
“Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”.
Pasal ini mengisyaratkan bahwa ketika suami isteri telah mempunyai kedudukan yang sama dalam perkawinan, maka antara suami isteri harus ada saling hormat menghormati, saling setia yang merupakan kebutuhan lahir dan batin masing-masing suami isteri.
Penulis berpandangan bahwa dari beberapa pasal yang telah di kemukakan di atas, undang-undang telah menekankan bahwa perolehan hak terkait erat dengan penunaian kewajiban, walaupun hak-hak yang tersebut di atas adalah hak-hak yang dirasakan (non materil), bukan dimiliki (materil).
Dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diatur kebutuhan yang dapat diakses langsung dari suami isteri:
Ayat (1) “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Ayat (2) “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”.
Pasal ini tidak menyebut kewajiban suami isteri bersifat kebutuhan lahir dengan terminologi “nafkah”[5] tetapi keperluan hidup berumah tangga. Namun secara jelas yang dimaksudkan adalah apa yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi keperluan pokok bagi kelangsungan hidupnya. Yang menarik dalam ketentuan pasal ini tidak ditetapkannya batasan maksimal dan minimal[6] nafkah yang menjadi kewajiban suami terhadap isteri, tetapi didasarkan kepada keadaan masing-masing suami isteri. Hal ini dimaksudkan agar ketentuan ini tetap aktual dan dapat dipergunakan dalam menyahuti kebutuhan dan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat.
Sejalan dengan kewajiban suami tersebut di atas, maka kewajiban isteri adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, hal tersebut merupakan hak suami.
Bagian terakhir tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang Perkawinan ini adalah mengatur tentang kemungkinan suami isteri untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan apabila masing-masing suami isteri melalaikan kewajibannya. Hal itu merupakan jaminan terhadap hak masing-masing suami isteri apabila hak tersebut terabaikan.
Dalam bagian lain dari undang-undang ini yaitu dalam Bab VIII yang mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya antara lain memuat tentang ketentuan tentang kewenangan pengadilan untuk mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri (pasal 41 huruf c). Ketentuan yang terdapat dalam pasal ini memberikan kemungkinan kepada pengadilan untuk menetapkan kewajiban pada suami untuk memberikan sesuatu bagi bekas isterinya setelah terjadi perceraian tanpa merinci batasan kewajiban tersebut sampai kapan dan juga tidak memberikan batasan maksimal dan minimal kewajiban tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UUP menetapkan hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat materil dan immateril. Kewajiban materil mencakup hak untuk memperoleh tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga, sedangkan hak yang bersifat immateril mencakup hak untuk diperlakukan secara seimbang dan baik. Semangat undang-undang ini juga mengisyaratkan bahwa perolehan hak adalah setelah menunaikan kewajiban. Perpanjangan pembayaran kewajiban dan penerimaan hak dapat dilakukan pengadilan bagi bekas suami atau isteri setelah terjadi perceraian. Pemenuhan kewajiban di satu sisi dan penerimaan hak di sisi lain bukan hanya sebagai kewajiban moral dalam sebuah perkawinan, tetapi dapat dituntut ke pengadilan apabila masing-masing suami isteri merasa dirugikan.
2. Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam
Meskipun keberadaan dan kedudukan Pengadilan Agama semakin mantap dengan didukung perundang-undangan yang jelas, namun dalam mengambil keputusan hakim belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735, maka usaha untuk penyeragaman tersebut telah dimulai dengan menganjurkan kepada para hakim untuk menerapkan atau menggunakan 13 kitab kuning sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
Dengan merekomendasikan 13 kitab tersebut, keseragaman belum sepenuhnya tercapai, sementara itu dirasakan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Untuk menyahuti kebutuhan tersebut, maka usaha penyeragaman diperluas dengan menambahkan kitab-kitab mazhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan yurisprudensi Pengadilan Agama dan fatwa ulama. Usaha ini kemudian dihimpun dan diterapkan sebagai hukum terapan yang kemudian dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam.
Di antara hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hak dan kewajiban suami isteri yang telah diatur secara rinci, karena Kompilasi Hukum Islam dibuat untuk menegaskan dan melengkapi hukum materil yang ada sebelumnya (yang diharapkan dapat) sebagai hukum terapan yang diberlakukan bagi umat Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dibedakan dan dikelompokkan hak dan kewajiban bersama antara suami isteri, hak suami, hak isteri, serta kedudukan masing-masing suami isteri. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam pasal 77 sampai dengan pasal 84.
Adapun mengenai kewajiban bersama antar suami isteri diatur dalam bagian umum yaitu pasal 77 dan pasal 78. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 77 sebagian ditemukan pedomannya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu pasal 77 ayat (1) padanannya adalah pasal 30 Undang-undang Perkawinan dengan tambahan: ….rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah;dan pasal 77 ayat (2) padanannya adalah pasal 33 Undang-undang Perkawinan, sedangkan pada ayat 3 belum diatur sebelumnya dalam Undang-undang Perkawinan, yaitu:
“Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya”.
Ketentuan ini mempertegas bahwa kewajiban suami isteri terhadap anak (hak anak dari orang tua) bukan hanya sebatas kewajiban moral, tetapi kewajiban hukum untuk kemashlahatan anak sebagai orang yang belum berdaya mengurus dirinya.
Kemudian dalam pasal 77 ayat (4) diatur pula bahwa “Suami isteri wajib memelihara kehormatannya”. Meskipun dalam pasal 77 ayat (2) telah diatur tentang kewajiban saling hormat menghormati, maka melalui pasal ini dipertegas bahwa salah satu perwujudan rasa saling menghormati adalah adanya kemauan untuk memelihara kehormatan, yang bukan semata-mata kewajiban moral tetapi kewajiban hukum, yang apabila diabaikan oleh masing-masing suami isteri, maka salah satunya dapat menuntut ke pengadilan. Hal ini seperti diatur dalam pasal 77 ayat (5) dan padanannya dalam pasal 34 ayat (3) Undang-undang Perkawinan.
Selanjutnya dalam pasal 78 ayat (1) dan (2) diatur lagi tentang tempat kediaman bersama dan kemudian penentuan tempat kediaman bersama didasarkan kepada musyawarah. Ketentuan ini merupakan pengulangan pasal 32 ayat (1) dan (2), sehingga uraiannya tidak akan dibahas lagi pada bagian ini.
Termasuk pula hal yang merupakan pengulangan dari ketentuan yang ada sebelumnya adalah ketentuan pasal 79 tentang kedudukan suami isteri. Ketentuan pasal ini yang terdiri dari tiga ayat pasal 79 ayat (1) padanannya adalah pasal 31 ayat (3), pasal 79 ayat (2) padanannya adalah pasal 31 ayat (2). Menuru hemat penulis pengulangan dimaksudkan untuk mepertegas dengan menjelaskan bahwa hal tersebut sangat penting dalam hubungan rumah tangga.
Pada bagian ketiga diatur kewajiban suami yaitu dalam pasal 80, yang terdiri dari 7 ayat. Ayat-ayat yang merupakan pengulangan yaitu pasal 80 ayat (2) adalah pengulangan dari ketentuan pasal 34 ayat (1), sedangkan ayat-ayat yang lain merupakan ketentuan baru yang belum diatur sebelumnya. Adapun hal yang diatur dalam kedua ayat tersebut adalah:
“Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri secara bersama.”
Meskipun ditegaskan bahwa suami adalah pembimbing dalam menyelesaikan urusan rumah tangga namun dalam hal tertentu tidak serta merta suami dapat memutuskan segala hal tanpa musyawarah. Dalam pasal 80 ayat (3) dijelaskan pula:
“Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa”.
Selain kewajiban memberikan bimbingan kepada isteri, suami juga berkewajiban memberikan pendidikan agama kepada isteri. Kalau suami kebetulan tidak punya kemampuan memberikan pendidikan tersebut, suami memberi kesempatan kepada isteri untuk mendapatkan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan dalam hidup sebagai isteri dan anggota masyarakat.
Berbeda dengan ketentuan yang ada sebelumnya (pasal 34 ayat 1, padanannya pasal 80 ayat 2) yang hanya menjelaskan bahwa suami berkewajiban memenuhi keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, maka dalam pasal 80 ayat (4) dijelaskan:
“ Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
Melalui ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa keperluan berumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan. Ketentuan pasal ini juga mempertegas anggapan bahwa nafkah itu hanya untuk biaya makan, karena di samping nafkah masih ada biaya rumah tangga, dan hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan etimologi nafkah yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang berarti pengeluaran.
Mengenai kewajiban suami terhadap isteri di atas, Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa kewajiban dalam pasal di atas mulai berlaku sejak adanya tamkin sempurna. Ketentuan ayat ini menjelaskan bahwa secara yuridis formal suami berkewajiban memenuhi (pasal 84 ayat 4 huruf a) dan apabila isteri itu terikat oleh suatu perkawinan yang sah, dan isteri mempunyai kapasitas serta telah berperan sebagai isteri. Apabila ia tidak dapat berperan sebagai isteri, baik karena ia kurang atau tidak mepunyai kapasitas untuk itu, atau ia mepunyai kapasitas dimaksud tetapi enggan berperan sebagai isteri maka kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya menjadi gugur karena isteri dikategorikan nusyuz. Ketentuan itu diatur dalam pasal 80 ayat (5) yaitu: “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Kalau dalam pasal ini sikap isteri yang menyebabkan gugur hak nafkah, maka dalam pasal 80 ayat (6) diatur bahwa isteri dapat mebebaskan suami dari kewajiban terhadap dirinya.
Bagian keempat dari hak dan kewajiban suami isteri mengatur tentang masalah tempat kediaman. Pada pasal 81 ayat (1) sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 80 ayat (4) dijelaskan: “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.” Ketentuan pasal ini menjelaskan batas akhir kewajiban suami untuk menanggung tempat kediaman yaitu sampai masa iddah, baik iddah raj’i maupun ba’in tidak dijelaskan oleh pasal ini, namun melalui pasal 149 yang mengatur “akibat talak”, pada sub b pasal tersebut dijelaskan:
“Bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: (b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in”.
Melalui penjelasan pasal ini dapat dipahami bahwa kewajiban untuk memenuhi maskan adalah hingga akhir iddah talak raj’i. Jadi tempat kediaman itu adalah tempat tinggal yang layak selama dalam ikatan perkawinan, iddah talak atau iddah wafat. Pasal 81 ayat (2) pasal ini menjelaskan pula bahwa selama masa iddah wafat, isteri berhak mendapatkan maskan. Kemudian dalam pasal 81 ayat 3 diatur fungsi tempat kediaman adalah untuk melindungi anak-anak, tempat menyimpan harta kekayaan dan tempat mengatur dan menata alat rumah tangga.
Kewajiban suami untuk menyediakan kediaman itu mencakup pula kewajiban untuk melengkapi peralatan rumah tangga, maupun sarana penunjang lainnya (pasal 81 ayat 4).
Meskipun pada dasarnya setiap kewajiban suami merupakan hak bagi isteri, namun secara khusus Kompilasi Hukum Islam mengatur pula kewajiban isteri yaitu pada pasal 83. Dalam ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas yang dibenarkan hukum Islam. Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan: “Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Hemat penulis rumusan pasal ini sengaja dibuat sedemikian rupa agar Kompilasi Hukum Islam tetap aktual dan dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang ada, namun yang jelas penekanan pasal ini mengacu kepada kewajiban yang bersifat intern rumah tangga.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa kewajiban suami gugur karena isteri nusyuz, maka melalui pasal 84 ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban suami dapat berlaku kalau isteri tidak nusyuz. Sebagai pasal yang mengatur kewajiban isteri, maka pasal ini seyogyanya ditempatkan sebagai pasal-pasal tentang kewajiban suami. Karena nusyuz akan menyebabkan hilangnya sebagian hak-hak isteri, maka penetapan isteri nusyuz harus didasarkan kepada bukti yang sah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur secara rinci mencakup jenis kewajiban, kapan mulai berlaku, kemungkinan gugur hak, kemungkinan merelakan hak oleh isteri, dan batas akhir berlaku hak-hak tersebut serta kemungkinan berlaku kembali hak-hak bagi isteri.



foot noote
[1] Diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019 Tahun 1974.
[2] Dalam al-Quran surat al-Nisa’/4:34 kepemimpinan diungkapkan dengan “qawwamu” adalah sebuah kepemimpinan yang memberikan perlindungan, persahabatan, perhatian, dan bimbingan, di mana orang yang dipimpin tetap memiliki hak untuk menentukan tindakannya sendiri dan mereka tidak tertindas. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 11947) juz. V, h. 67-68.
[3] Laki-laki diberi hak untuk memimpin disebabkan bahwa Allah telah memberikan kaum laki-laki kelebihan-kelebihan tertentu dan kemampuan memberi nafkah keluarga. Namun kepemimpinan laki-laki khususnya dalam keluarga tidak mutlak, tetapi terkait oleh kemampuan bergaul secara baik, rasa kasih sayang, rasa tanggung jawab terhadap kaum wanita. Lihat: M. Atho Mudzar dkk [ed.], Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kali Jaga Press, 2001), h. 53.
[4] Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 106 dan 107 yang mengharuskan isteri patuh dengan tinggal serumah dengan suami di tempat di manapun suami bertempat tinggal.
[5] Kata nafkah lebih dikenal dalam terminologi fikih, namun sekarang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia (Lihat: Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 93.

[6] Di kalangan ulama, Ibnu Qayyim al-Jauziah termasuk golongan yang tidak menetapkan batas minimal dan maksimal nafkah. Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi dasar bagi Ibnu Qayyim adalah nash al-Quran surat al-Thalaq/65: 7 dan hadis Hindun, Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, alih bahasa:. Abdurrahman dan A. Haris, (Semarang: al-Syif, 1990), h. 462.

Nafkah dalam Perpektif Islam

Oleh: Fakhrurazi

1. Pengertian dan Dasar Hukum Nafkah
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah). Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا )[1] . Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan[2]. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[3] Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan :[4]
هو الاخرا ج و لايستعمل ا لا فى الخيـر
“Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik”
Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya Badruddin al-Aini[5] mendefenisikan nafkah dengan :[6]
عبا رة عن الا د رار على الشئ بما به بقاؤ ه
“Ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya”.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekwensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :[7]
طمام مقدر لزوجة وخادمها على زوج ولغيرهما من اصل وفرع ورقيق وحيوا ن
ما يكفيه
“Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .

Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :[8]
هي كفاية من يمو نه من الطعام والكسوة والسكني
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat maupun hadis Rasulullah, diantaranya adalah:
1.Surat al-Thalaq (7) :
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما ءاتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا (الطلاق : 7)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”. [9]
Ayat di atas tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah ( لينفق ) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayat لا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[10]
Sedangkan Muhammad Ali as - Sayis berpendapat bahwa ayat لا يكلـــف الله نفسـا الا مأ تا ها mengungkapkan bahwa tidak berlaku fasakh disebabkan karena suami tidak sanggup memberi nafkah kepada isterinya. Sebab ayat ini mengandung maksud bahwa bila seseorang tidak sanggup memberi nafkah karena kondisinya yang tidak memungkinkan disebabkan kemiskinannya, Allah SWT tidak memberatkan dan membebaninya supaya memberi nafkah dalam kondisi tersebut.[11]
2. Surat at-Thalaq ayat 6 :
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجد كم ولاتضا روهن لتضيقوا عليهن وان كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فاِن ا رضعن لكم فأتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف واِن تعاسرتم فستر ضع له اخرى (الطلاق : 6)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”.[12]
Ayat ini tampak merinci lebih jauh hak isteri yang menjadi tanggung jawab suami. Berdasarkan kata askinu dapat dimengerti suami wajib memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah ditalak baik talak raj’i, bain, baik hamil ataupun tidak.[13]
3. Hadis Rasulullah SAW. Dari Aisyah RA :
حدثني علي بن حجر السعدي حدثنا علي بن مسهر عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت دخلت هند بنت عتبة امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى اللهم عليه وسلم فقالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني إلا ما أخذت من ماله بغير علمه فهل علي في ذلك من جناح فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك (رواه المسلم).[14]
“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujrin al-Sa’di, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushar dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”
4.Hadis dari Jabir ra :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإ سحق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسمعيل المدني عـن جعفر بن محمد عـن أبيه عـن جا بر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ... ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعـروف.... (رواه المسلم) [15]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishak bin Ibrahim yang semuanya dari Hatim, Abu Bakar berkata: telah menceritakan kepada kami Hatim bin Ismail al-Madani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah dari Nabi Saw. Beliau bersabda : …, mereka (isteri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik”…. (HR. Muslim)
Keseluruhan ayat dan hadis di atas merupakan dalil wajib nafkah, dan hanya berbicara tentang nafkah secara mutlak tanpa memberi batasan dan ukuran. Jika Allah SWT dan Rasulullah SAW. mensyari’atkan suatu hukum tapi tidak menjelaskan rinciannya maka dikembalikan kepada ‘urf setempat dan ijtihad,[16] terutama hadis dari ‘Aisyah yang berasal dari Hindun di atas. Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya.
Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayah al Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan. [17]
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas baik al-Quran maupun Sunnah dapat dipahami bahwa jika telah terjadi akad nikah maka suami wajib memberi nafkah untuk isterinya. Berkenaan dengan hal ini Ibn Hazm dari kalangan Zahiri berpendapat bahwa ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Jadi selama ada ikatan suami isteri selama itu pula ada hak nafkah. Jadi kewajiban tersebut lahir dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dan isteri berhak mengambil sebagian dari harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tidak diketahui suaminya. Perbuatan tersebut dibolehkan andaikata dilakukan ketika suami melalaikan kewajiban yang menjadi hak isterinya.
Akan tetapi ulama fiqh sepakat bahwa nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Untuk kebutuhan tempat tinggal menurut ulama fiqh, tidak harus milik sendiri, melainkan boleh dalam bentuk kontrakan, apabila tidak mampu untuk memiliki sendiri.
2. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya isteri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah isteri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau setelah tamkin atau ketika isteri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Syafi’iyah dalam qaul qadim dan Hanafiyah berpendapat bahwa hak nafkah isteri terjadi tatkala terlaksananya akad, demikian juga dengan Ibn Hazm dari golongan Zahiri. Ibn Hazm mengungkapkan bahwa adanya ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Dengan demikian selama ikatan pernikahan tidak putus maka hak nafkah bagi isteri tidak akan berakhir. Ibn Hazm menambahkan bahwa suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak terjadinya akad nikah, baik suami mengajaknya hidup serumah atau tidak, bahkan berbuat nusyus sekalipun. Mereka berargumentasi bahwa tidak satupun ayat yang menyatakan bahwa nusyusnya isteri menjadi sebab tidak diperolehnya hak nafkah.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa isteri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama mutaakhirin menyatakan bahwa isteri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika isteri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang isteri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah isteri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang isteri mendapatkan nafkah.
Perbedaan pemahaman para ulama dalam menyikapi persoalan ini akan mempunyai konsekuensi lebih lanjut ketika mengkaji persoalan gugurnya hak nafkah sebagaimana akan dijelaskan setelah ini.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah isterinya apabila :[18]
1. Isteri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama.
2. Isteri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama
3. perkawinan suami isteri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan
4. Tidak hilang hak suami untuk menahan isteri disebabkan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah isteri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah :[19]
a. Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak isterinya melakukan hubungan suami isteri namun isteri menolak, maka isteri tidak layak untuk menerima nafkah.
b. Isteri layak untuk disenggamai. Apabila isteri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c. Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami isteri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d. Salah seorang suami isteri tidak dalam keadaan sakratulmaut ketika diajak senggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi isteri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah isterinya. Kedua : Isteri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan isteri dengan alasan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
3. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Nusyuz.
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit[20], sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya.
Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suaminya ( tanpa alasan ) yang dibenarkan hukum ( Islam )[21]
Senada dengan pengertian tersebut adalah pengertian yang dikemukakan yang dikemukakan Badruddin al `Aini
الما نعة نفسهاعن زوجها بغير حق[22]
"Isteri melarang dirinya dari suaminya tanpa alasan yang hak".
Wahbah al- Zuhaily mendefinisikan sebagai berikut :
معصية المرأ ة لزوجها فيماله عليهامما أوجبه له عقد الزواج [23]
"Kedurhakaan perempuan kepada suaminya dalam apa saja yang menjadi hak suaminya dan menjadi kewajiban Isteri sebagai konsekuensi akad perkawinan".
Abu Yahya Zakariya al-Anshari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah keluarnya isteri dari ketaatan kepada suaminya, seperti; keluar rumah tanpa izin suaminya, tidak mau membukakan pintu bagi suaminya, atau tidak mau menyerahkan dirinya”[24].
Penekanan kedurhakaan atau nusyuz dalam pengertian terminologi diatas adalah kepada sikap isteri, padahal kalau memperhatikan pengertian yang umum maka nusyuz itu berlaku juga untuk suami seperti dikemukakan Ibnu Mansur dalam Lisan al `Arabi :
كراهة كل وا حد منهما صاحبه [25]
“Rasa benci salah satu pihak terhadap pasangannya “.
Jadi nusyuz adalah ketidakpatuhan salah satu pasangan, terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau bisa juga dikatakan enggan tidak taatnya suami atau isteri kepada pasangannya dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh Syara’.
Mencermati pengertian terminologi tersebut diatas maka antara pengertian etimologi tidak jauh berbeda dengan pengertian terminologi tersebut di atas. Sikap nusyuz yang muncul dari suami dan yang muncul dari isteri pada intinya adalah sebuah sikap antipati yang tidak beralasan terhadap pasangannya dan didasarkan atas kurang atau hilangnya rasa kasih sayang. namun nusyuz dari pihak suami atau nusyuz pihak isteri mungkin memperlihatkan manifestasi yang berbeda. Dalam al-Quran terdapat dua pembicaraan tentang nusyuz yang dihubungkan dengan suami dan nusyuz yang dihubungkan dengan isteri. Adapun ayat yang berhubungan dengan nusyuz suami terdapat dalam surat al Nisa ` ( 4 : 128 ) :
وان امرا ة خافت من بعلها نشو زا او اعراضا فلاجناح عليهما ا ن يصلحا بينهما صلحا, و الصلح خير واحضر ت الانفس الشح وان تحسنوا وتتقوا فا ن الله كان بما تعملون خبيرا
( النساء: 128)
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebanar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik ( bagi mereka ) walaupun menurut tabiatnya manusia itu kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirinya ( dari nusyuz dan sikap tidak acuh ), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" .[26]
Ayat tersebut menjelaskan hukum yang berhubungan dengan sikap nusyuz yang muncul dari pihak suami. Yang dimaksud dengan nusyuz dalam ayat tersebut seperti dikemukakan al-Maraghi adalah sikap suami yang menjengkelkan atau menyakiti isteri dalam berbagai bentuknya seperti melarang isteri untuk mendekatinya, melarang menggunakan nafkahnya, tidak memperlihatkan kasih sayang sebagaimana layaknya suami isteri atau menyakiti dengan memaki, memukul dan sebagainya. [27]
Tingkah laku seperti tersebut diatas menurut Satria Efendi M Zein belum dapat dianggap sebagai perbuatan nusyuz kecuali telah diketahui bahwa hal itu dilakukan suami karena ia tidak lagi menyenangi isterinya atau tanpa alasan yang dapat dibenarkan bukan disebabkan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh kepada sikap dalam rumah tangga [28]. Suami tidak lagi mencintai isterinya disebabkan berbagai hal. Antara lain karena isteri sudah tua, atau bentuk fisiknya yang sudah tidak lagi menarik perhatian suami, atau suami tertarik kepada wanita lain.
Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan nusyuz suami adalah dengan mengadakan perdamaian antara suami isteri. Untuk mencapai tujuan ini masing-masing hendaklah bersedia mengalah dari haknya , seperti yang dilakukan oleh suami isteri pada saat ayat diturunkan.[29]8 Kasus nusyuz dalam riwayat tersebut ternyata penyelesaiannya cukup diantara suami isteri saja . Namun apabila upaya damai dengan merelakan sebagian hak giliran misalnya tidak membawa perdamaian, maka langkah yang dapat ditempuh isteri adalah menasehati suami, atau memperlihatkan keengganan ketika diajak tidur bersama karena seperti yang dikemukakan Aziz Dahlan (ed) ketentuan hokum dalam ayat al-Quran surat al- Nisa` (4 : 34 ) tentang tahapan pendidikan nusyuz isteri juga berlaku terhadap suami yang nusyuz. Apabila suami memang tidak dapat disadarkan lagi bahkan menganiaya isterinya maka Islam memberi jalan keluar bagi para isteri melalui khulu`22 Penjelasan mengenai nusyuz yang dihubungkan dengan isteri terdapat dalam al-Quran surat al-Nisa` ( 4 : 34 ) :
و التى تخافو ن نشوز هن فعظو هن و اهحرو هن فى المضاجع و ا ضر بو ا هن فا ن ا طعنكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا ا ن الله كا ن عليا كبير ا (النساء : 34)
“Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka ditempat tidur dan pukulah mereka . Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal ( al- Quran surat al-Nisa` 4 : 34 )”
Ayat tersebut mengatur cara mengatasi nusyuz yang muncul dari pihak isteri . Bentuk nusyuz yang muncul dari pihak isteri seperti yang dikemukakanoleh Wahbah al – Zuhaily adalah berupa pembangkangan isteri terhadap suaminya tanpa alasan yang dapat dibenarkan misalnya pergi meninggalkan rumah tempat tinggal bersama tanpa izin suami, melarang suaminya masuk kerumah (isteri) [30] . Atau dengan kata lain nusyuz adalah
sikap membangkang isteri terhadap suami dalam hal-hal yang merupakan kewajibannya.
Sama seperti nusyuz pada suami maka dalam nusyuz isteri itu sikap membangkang itu muncul bukan karena alasan yang diterima syara` seperti karena disakiti suami, tidak dilunasi mahar, atau tidak diberi nafkah. Untuk memastikan bahwa pembangkangan yang muncul dari isteri terlebih dahulu diketahui penyebabnya . Jika ternyata tanpa alasan yang dibenarkan syara` maka sikap itu dipandang sebagai perbuatan nusyuz.
Al- Quran mengajarkan kepada suami yang mandapatkan isterinya nusyuz agar mencari penyelesaian secara bijaksana . Dalam ayat tersebut al- Quran tidak mengajarkan untuk menceraikan isterinya, tetapi memberi petunjuk langkah yang harus ditempuh suami . Terdapat tiga tingkatan cara mengatasi perbuatan nusyuz isteri yaitu :
1). Memberikan nasehat .
Seorang suami yang melihat pada diri isterinya tanda- tanda nusyuz , dan setelah dapat memastikan bahwa itu gejala nusyuz , hendaklah ia memulai dengan nasehat kepada isterinya . Nasehat tersebut disesuikan dengan keadaan isteri , dan nasehat tersebut berupa peringatan tentang kewajiban- kewajiban seorang isteri terhadap suaminya, serta sebelum menasehati suami telah mengetahui sebab-sebab isteri bertingkahlaku seperti itu.[31]
2). Meninggalkan isteri di tempat tidur
Jika nasehat dengan lisan tidak mencukupi, maka hendaklah suami mencoba jalan lain dengan meninggalkannya ditempat tidur. Menurut Ibnu Abbas seperti diungkapkankan oleh al–Qurtubi bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut bukanlah berpisah kamar tidur , melainkan tidur bersama isteri pada satu tempat tidur, namun suami tidak mengacuhkan isterinya itu, tidak mengajaknya berbicara , atau membelakanginya [32]. Berbeda dengan hal tersebut , ahli tafsir bernama Mujahid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berpisah tempat tidur adalah suami tidak lagi satu kamar tidur dengan isterinya. Al- Qurtubi dalam komentarnya mengatakan pendapat yang terakhir lebih kuat, karena isteri dengan ditinggalkan suami di tempat tidur akan kelihatan apakah masih mencintai suaminya atau tidak. Jika ia masih mencintai suaminya dengan ditinggalkan akan sadar dan merubah sikap. Sebaliknya kalau ia benar tidak senang kepada suaminya maka perbuatan nusyuznya akan berlanjut atau bertambah parah , dan itu berarti perbuatan nusyuz benar-benar terjadi.
3). Dengan cara kekerasan
Bertindak secara lebih keras terhadap isteri yang sedang dalam keadaan nusyuz dalam bahasa al-Quran dengan memakai idlribuhunna (اضربواهن) yang bila diterjemahkan secara harfiah berarti pukullah mereka. Pukullah yang terdapat dalam ayat tersebut disampaikan dalam bentuk perintah ( al-amru ) , apabila diartikan secara harfiah menurut bentuk kata itu , berarti bahwa suami diperintah untuk memukul isterinya yang dalam keadaan nusyuz apabila berbagai upaya lain tidak berhasil mengatasinya. Pemahaman seperti ini membawa kepada kesimpulan bahwa memukul isteri yang dalam keadaan nusyuz hukumnya wajib. Pemahaman seperti ini merupakan kesimpulan yang keliru , karena seperti disimpulkan Ibnu Katsir perintah memukul dalam ayat bermakna pembolehan ( mubah ) . Apabila makna memukul adalah mubah, maka ayat memberi petunjuk tentang hak pilih seorang apakah ia akan melakukan tindakan tindakan lebih keras kepada isterinya karena mengandung manfaat atau tidak akan melakukannya karena berakibat mudharat. Ayat tersebut tidak dapat diberlakukan secara umum . Tindakan itu hanya dilakukan apabila dengan pemukulan itu mungkin dapat mencegah bahaya yang lebih besar yang akan menimpa rumah tangga.
Adapun pemukulan yang dibenarkan hanyalah pemukulan yang bermaksud memberi pelajaran bukan pelampiasan rasa marah . Menurut Ibnu Abbas pemukulan yang dibolehkan dalam ayat tersebut adalah pemukulan dengan memakai kayu siwak ( kayu untuk bersugi ) yang menggambarkan pukulan tidak menyakitkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut bukan pemukulan secara phisik tetapi dalam bentuk tindakan yang lebih tegas dari suami untuk memperbaiki isterinya.
Apabila setelah melalui tahapan pendidikan yang diajarkan al-Quran tersebut isteri tetap nusyuz , maka selama nusyuz tersebut gugur hak nafkahnya , demikian pendapat Ulama mazhab pada umumnya , namun dikalangan ulama terdapat perbedaan dalam melihat keriteria dalam menetapkan nusyuz dikalangan ulama Hanafi nusyuz itu dilihat dari hilangnya menahan isteri [33].Sedang dikalangan Syafi`iyah dan Hanabilah dampak dari nusyuz adalah tidak terlaksananya tamkin (kemungkinan isteri berperan sebagai isteri ) [34]
b. Wafat salah seorang suami isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. [35]
c. Murtad.
Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut.[36] Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya. [37]
d. Talak.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. [38] Imam Malik, Syafi,i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi,i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[39]
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas isterinya. Hal ini menurut penulis bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami. Penulis berpandangan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa begitu terjadi perceraian dan habis masa iddah isteri antara suami isteri tidak terikat lagi oleh tali perkawinan, sehingga otomatis dengan lepasnya ikatan perkawinan dengan sendirinya terlepaslah kedua belah pihak dari keharusan untuk melakukan sesuatu yang merupakan hak atau kewajibannya.
Dari uraian serta penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hak seorang isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya menurut penulis erat sekali kaitannya dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang isteri berkaitan dengan hak yang diterimanya. Artinya bahwa memang salah satu konsekuensi dari terjadinya akad perkawinan adalah lahirnya hak dan kewajiban antara suami-isteri. Akan tetapi tidak berarti bahwa isteri dengan sendirinya dan secara otomatis menerima hak atas nafkahnya, karena hal itu berkaitan dengan kewajiban yang telah dilakukannya, sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.

1. al- Munjid fi al – Lugat wa al-i`lam , Bairut, al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986, hal 828
[2]Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir,Yogyakarta, Pondok Psantren al – Munawwir, 1984, hal 1548.

[3] Diknas ,Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi ketiga, hal 770.
[4] Syamsuddin Muhammad bin Muhamamd al-Khatin al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj (Bairut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz V, h. 151.

[5] Nama lengkapnya adalah Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husein, bermazhab Hanafi

[6] Badruddin al-Aini, al-Binayah Syarah al-Hidayah (Beirut: Dar al-Kutub aI-Ilmiyah, 2000), Juz V, h. 659
[7] Al- Syarkawi, al- Syarkawi `ala al- Tahrir, al- Thaba`ah al Nasyr wa al-Tauzi`, tt, hal 345.
[8] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002), juz. 10, hal.7348
[9] Departemen Agama RI, Op.cit, hal. 946
[10] Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII, h. 170

[11] Muhammad Ali al-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Terjemahan, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984), h. 298
[12] Departemen Agama RI, Loc.cit.

[13] Muhammad Ali al-Sayis, , Loc.cit.

[14] al-Nawawi, Imam Muhiddin, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Ma’rifah li al-Thaba’ah wa al-Nasyar wa al-Tauzi’, 1999), juz 12, h. 234.
[15] Ibid, juz. 8, hal. 413
[16] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang, Asy-Syifa’, 1990), h. 462

[17] Ibid.
[18] Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, hal. 7374-7375
[19] Ibid, hal. 7376-7377
[20]Al-Munjid, Op.Cit,hal. 809

[21]Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Op.Cit.,hal 789.

[22] Badruddin al- `Aini, Op. Cit., hal . 666
[23] Wahbah al- Zuhaily, Op.cit. hal. 7364
[24] Abi Yahya Zakariya al- Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj al Tulab, Singapura, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i, t,th),Juz II, h. 63.
[25] Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad al- Iftiraqi al-Misri Ibn Mansur , Lisan al `Arabi, Jilid. 14, hal . 143.
[26] Departemen Agama RI, Op.cit, hal. 143
[27] Ahmad Mustafa Al- Maraghi, Tafsir al- Maraghi, (Bairut, Dar al Fikri, t.th), Juz 4, hal. 171

[28]Satria Efendi M. Zein, Analisis Yurisprodensi “Analisis Fiqh “ dalam Mimbar Hukum nomor 46 tahun XI 2000, Jakarta, Al- Hikmah, 2000, hal 101.
[29] Di antara riwayat tentang sebab turun ayat ini adalah: Riwayat Abu Daud dan al- Hakim yang bersumber daru Aisyah , dan diriwayatkan pula oleh al- Turmuzi, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Saudah binti Za`mah sudah tua dan takut dicrai oleh Rasulullah Saw. ia berkata : hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah maka turunlah ayat iniyang membolehkan tindakan Saudah binti Za`mah ( Lihat : Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponegoro, 1984, hal . 164. Riwayat Ibnu Uyainah dari al- Zuhry dari Sa`id bin Musayyab diceritakan bahwa seorang sahabat bernama Rafi` bin Khadij beristerikan bernama Khaulah binti Muhammad bin Musallamah . Pada suatu waktu, pasa diri Rafi` bin Khadij kelihatan oleh isterinya itu tanda- tanda yang menunjukkan bahwa suaminya itu tidak lagi seperti semula mancintai dirinya. Dalam sutu riwayat mengatakan bahwaa tanda-tanda seperti itu kelihatan setelah Rafi` bin Khadij menikah lagi dengan isteri kedua yang lebih muda, maka turun ayat. Dalam perdamaian bersama suaminya Khaulah binti Muhammad al- Maslamah merelakan sebagian hak (gilirannya) bersama suami untuk diberikan kepada isteri mudanya dengan syarat tidak dicerai ( lihat Al-Qurthubi, al- Jami` li ahkam al Quran , Juz 5, Bairut, Dar al Turas al `Arabi, 1985,hal 4014
[30] Wahbah al Zuhaily, Op.Cit, hal .779
[31] Satria Efendi M. Zein , Op.Cit
[32] Al- Qurthubi, Op.Cit, juz 5 ,hal 171.
[33] Badruddin al-`Aini, Op.Cit, hal .666, lihat juga Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Sahal al- Sarakhzi, al Mabsuth, juz 5, Bairut, Dar al- Kutub, al Ilmiyah, 2001, cet 1 hal. 174.
[34] Syamsu al-Din Muhammad bin Muhammadal-Khatib al- Syarbaini, Op.Cit,hal 165, lihat jugaAbi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Bairut, Dar al Kutub al Ilmiyah, tt, hal . 296.
[35] Wahbah al- Zuhaili, Op.Cit, hal . 7363

[36] Ibid, hal. 7366

[37] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), jil. 2, hal. 173

[38] Ibid, hal. 337

[39] Ibid.

Kumpulan Foto ......