Selasa, 07 April 2009

Kompensasi Materi Terhadap Nafkah Batin Mungkinkah … ?

Oleh: Fakhrurazi, S.Ag, MHI

Pendahuluan

Para ulama dalam literatur fikih klasik memiliki perbedaan pandangan ketika membicarakan persoalan hak dan kewajiban suami-isteri, khususnya berkenaan dengan hubungan persetubuhan. Pendapat yang populer pada umumnya menempatkan hubungan persetubuhan sebagai hak suami. Artinya ketika suami tidak berkeinginan untuk menyetubuhi istrinya, istri tidak berhak untuk menuntut suami.1
Suatu hal yang harus digaris bawahi adalah bahwa pendapat yang menyatakan isteri tidak memiliki hak dalam hal bersetubuh bukan berarti mentolerir suami mengabaikan begitu saja kehendak seksual isterinya. Andaikata seorang isteri yang tidak disetubuhi oleh suaminya bisa membuatnya jatuh pada perbuatan yang terlarang, maka di saat itu suami secara agama wajib memenuhi kebutuhan seksual isterinya tersebut. Ketidakpedulian suami terhadap kehendak isterinya adalah suatu tindakan yang bisa menimbulkan mudharat bagi isteri, padahal kemudharatan dalam ajaran Islam harus dihilangkan.
Persoalannya adalah bolehkan isteri melakukan tuntutan terhadap suaminya ketika dia dengan sengaja tidak memenuhi nafkah batin isteri, sementara tuntutan itu diajukan dalam bentuk kompensasi materi. Penulis berpandangan bahwa akar dari permasalahan ini berangkat dari bagaimana memahami konsep hak baik dalam Islam maupun peraturan perundang-undangan. Tuntutan isteri dalam bentuk kompensasi materi terhadap kelalaian suaminya dalam memenuhi nafkah batin isteri merupakan masalah ijtihadiyah, dan ijtihad dalam Islam sebagaimana diungkapkan oleh Iqbal merupakan “the prinsiple of movement” (daya gerak kemajuan Islam).

Konsep Hak dalam Pandangan Ulama Fikih
Secara harfiah kata الحق dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna. Perbedaan makna ini dapat di lihat dari beberapa ayat berikut yang menggunakan term hak tapi dengan makna dan kandungan arti yang berbeda. Di antaranya mengandung arti kebenaran sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Isra’ ayat 81. Disamping itu juga bermakna suatu kewajiban, serta keadilan (al-Baqarah: 241 dan al-Mukmin ayat 20). Kemudian perkataan hak juga dipakai untuk menunjukkan bahagian atau peruntukan tertentu. Penggunaan kata hak dengan makna ini bisa dilihat dari firman Allah surat al-Ma’arij: 24-25
Secara terminologis, para ahli fikih berbeda pendapat tentang pengertian hak. Sebagian ulama mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sementara itu ada pula yang mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat non materi. Ibn Nujaim2 mendefinisikan hak sebagai suatu kekhususan yang terlindung. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang dengan orang lain, yang tidak dapat diganggu gugat.
Menurut sebagian ulama mutaakhkhirin hak adalah “al-hukm tsabit syar’an”, suatu hukum yang telah ditetapkan secara syarak 3. Syekh Ali al-Khafifi mendefinisikan hak dengan: “kemaslahatan yang diperoleh secara syarak”.4 Sedangkan Mustafa Ahmad az-Zarqa’, mengartikan hak dengan:

اختصاص يقرر به الشرع ســلطة ا و تكليــــــفا 5
Artinya: “ٍٍٍSuatu kekhususan yang ditetapkan syarak yang padanya melekat suatu kekuasaan atau beban (taklif)”.

Definisi yang diungkapkan oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa’ diatas mengandung dua substansi hak. Pertama, hak sebagai kewenangan atas sesuatu yakni hak yang berlaku atas benda. Kedua, hak sebagai keharusan atau kewajiban pada pihak lain. Substansi hak yang terbebankan pada orang lain dikenal dengan istilah hak syahshi ini dipahami sebagai taklif seperti hak isteri yang terbebankan pada suami.
Dari dua substansi hak yang terkandung dalam definisi yang dikemukakan oleh az-Zarqa’ di atas, yang paling tepat dan berkaitan dengan tulisan ini adalah hak dengan makna taklif. Berkenaan dengan pengertian hak ini, Ensiklopedi Islam mengutip pendapat Fathi al-Duraini yang mengemukakan bahwa hak adalah suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu6. Dalam definisi ini tercakup dua hak, yaitu hak Allah SWT. dan hak manusia. Kekhususan terhadap sesuatu harus diakui oleh syarak. Dengan demikian pemilikan sesuatu tanpa pengakuan syarak tidaklah dinamakan hak.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hak adalah kekuasaan khusus yang dimiliki seseorang yang diperoleh dengan penetapan syarak untuk mencapai kemaslahatan. Hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan tertentu . Dengan demikian suatu hak tidak boleh digunakan untuk merugikan orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan. Dengan pengertian lain, hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai kemaslahatan. Dalam hal inilah para fukaha membuat kaidah la darara wa la dirar, maksudnya dalam menggunakan hak, tidak boleh merugikan dan tidak boleh pula dirugikan.
Jadi substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak. Sebaliknya dari sisi pelaku di sebut iltizam atau lebih dikenal dengan istilah kewajiban. Abdul Razaq al-Syanhuri mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan iltizam adalah:
را بطة فا نو نية تجبر على شخص اخر على ان يعطى شيأ او يفوم بعمل او يمتنع عن عمل 7
Artinya: “Akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu”

Dari ungkapan diatas dipahami bahwa antara hak dan iltizam (kewajiban) keduanya terkait dalam satu hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Ada keseimbangan masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu perikatan, sehingga ketika seseorang melakukan suatu bentuk perbuatan yang merupakan kewajiban baginya, pada saat yang bersamaan dia juga mempunyai hak untuk memperoleh sesuatu sebagai imbangan dari kewajiban yang telah dilakukannya.
Berkaitan dengan Penggunaan hak, Ulama fikih menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar itu seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila merugikan atau memberi mudarat kepada pihak lain, baik perseorangan maupun masyarakat, dengan sengaja maupun tidak sengaja. Perbuatan-perbuatan yang memberi mudarat kepada orang lain, sengaja atau tidak di dalam fikih dikenal dengan istilah ta’assuf fi isti’mal al haqq ( sewenang-wenang dalam menggunakan hak).
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ta’assuf fi isti’mal al-haqq itu dilarang syarak di antaranya adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 231:
وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka….”.

Dalam ayat ini para suami dilarang untuk menggunakan hak rujuk mereka dengan tujuan untuk menganiaya isteri mereka, sebagaimana yang dilakukan kaum lelaki di masa jahiliyah.
Pada prinsipnya Islam memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mempergunakan haknya sesuai dengan kehendak dan keinginannya, selama penggunaan haknya tersebut tidak bertentangan dengan syar’at Islam. Di samping itu selain dibatasi dengan ”tidak bertentangan dengan syari’at Islam”, juga dibatasi oleh ”tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang lain”.
Jadi prinsip kebebasan dalam Islam dalam penggunaan hak tidaklah bersifat mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Perlindungan hak dalam ajaran Islam merupakan penjabaran dari prinsip keadilan, sehingga setiap orang boleh menuntut pemenuhan haknya. Jika terjadi pelanggaran, maka sipemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang dianggap sepadan dengan kerugian yang dideritanya.

Hak Timbal Balik Suami-Isteri
Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk menikmati naluri seksualnya. Ada dua teori tentang hal ini; Pertama, melalui akad isteri dianggap sebagai milik suami dengan pemilikan intifa’. Dengan pemilikan ini suami memiliki hak monopoli kenikmatan atas isterinya, meski pada sisi lain si isteri tidak selamanya terikat oleh suaminya. Pada kondisi tertentu ia dapat melepaskan diri, yakni bercerai. Akibat lebih lanjut dari teori ini adalah bahwa suami tidak berkewajiban menyetubuhi isterinya, sebaliknya isteri berkewajiban menyerahkan tubuhnya kepada suami manakala si suami membutuhkannya. Pelanggaran atas kewajiban ini jelas akan memunculkan sejumlah resiko.
Penulis berpendapat bahwa pandangan ini sepertinya didasari oleh hadis-hadis yang berkenaan dengan keharusan isteri untuk melayani suami, di antaranya:
عن أبي هريرة عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فلم تأته فبات
غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح (متفق عليه )
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW. Beliau bersabda: Apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu dia tidak datang, dan suaminya tidur dalam keadaan marah, maka malaikat mengutuk isterinya hingga pagi.

Hadis di atas jika dipahami secara tekstual, maka yang menjadi sasarannya hanyalah wanita. Artinya kewajiban isterilah untuk memenuhi ajakan suaminya, bukan sebaliknya. Dalil kewajiban isteri untuk memenuhi kehendak suaminya itu adalah kutukan malaikat terhadapnya jika dia menolak. Padahal jika dikaitkan dengan realitas sekarang, justru akan didapati isteri-isteri yang dengan setia menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu justru tidak kunjung datang. Hadis ini menurut penulis haruslah dipahami secara kontekstual, artinya ketentuan tersebut tidak hanya berlaku untuk isteri akan tetapi juga ditujukan kepada suami.
Kedua, akad nikah bukanlah hak tamlik (pemilikan), melainkan akad ibahah. Berdasarkan teori ini, konsep pernikahan bukan untuk memberikan kenikmatan seksual hanya kepada suami, tetapi juga kepada isteri.8
Dua teori yang dikemukakan di atas jelas akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda. Dalam literatur fikih, hal ini sudah diperbincangkan khususnya ketika membicarakan tentang hak timbal balik suami isteri. Ada dua pendapat yang berbeda di kalangan ulama menyangkut persoalan ini. Ibn Hazm dari kalangan Zahiri berpendapat bahwa berhubungan badan merupakan hak timbal balik antara suami isteri. Artinya isteri memiliki hak menuntut suami untuk memenuhi kebutuhan nafkah batinnya sebagaimana halnya dengan suami.9 Ibn Hazm berdalil kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 222:
فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله
Artinya : “Bila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”

Berdasarkan ayat ini, Ibn Hazm berpendapat bahwa suami wajib menyetubuhi isterinya sedikitnya sekali dalam tiap kali suci. Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Hazm tersebut tersirat bahwa apa yang dikemukakannya di atas adalah batas minimal. Artinya kewajiban suami untuk menggauli isterinya minimal satu kali dalam tiap kali suci.
Berkaitan dengan permasalahan ini Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa kewajiban untuk menyetubuhi isteri tersebut minimal satu kali dalam empat bulan.10 Ahmad bin Hanbal beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 226 yang berkenaan dengan masalah ila’:
للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فاءو فإن الله غفور رحيم
Artinya: “Kepada orang-orang yang meng ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika ia kembali (kepada isterinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Penulis berpandangan bahwa pendapat Ahmad bin Hanbal ini didasari asumsi bahwa Allah dalam firman-Nya di atas hanya memperkenankan suami untuk tidak menggauli isterinya selama empat bulan dan hal tersebut merupakan batas maksimal bagi seorang suami untuk tidak menggauli isterinya. Lebih lanjut Ahmad bin Hanbal mengemukakan bahwa jika suami meninggalkan isterinya, kemudian tanpa ada sesuatu hal yang menghalanginya dia tidak kembali, maka hanya ditolerir selama enam bulan, dan tidak diizinkan lebih dari itu kecuali atas persetujuan dan kerelaan isteri. Jika dia belum juga kembali dalam waktu enam bulan tersebut maka pengadilan dibolehkan untuk menceraikan antara keduanya.11
Berkenaan dengan hal ini al-Ghazali berpendapat bahwa suami wajib untuk mendatangi isterinya setidaknya sekali dalam empat hari.12 Pendapatnya ini berdasarkan logika bahwa dalam Islam dibolehkan poligami dengan batas maksimal empat orang. Sekali pun demikian al-Ghazali berpendapat akan lebih baik jika hubungan seksual tersebut dilakukan lebih dari sekali, atau kurang dari itu sesuai dengan kebutuhan isteri dalam memenuhi keinginan seksnya, karena memelihara kebutuhannya tersebut wajib bagi suami.
Dari pendapat yang dikemukakannya, terlihat bahwa al-Ghazali pada prinsipnya berpendirian bahwa berhubungan badan merupakan kebutuhan bagi isteri. Hal ini dapat dilihat dari logika berpikir serta argumentasi yang dikemukakannya ketika berbicara tentang batas minimal seorang suami berhubungan badan dengan isterinya. Adanya batas minimal yang diberikannya kepada suami untuk melakukan hubungan badan dengan istri penulis pahami sebagai indikator bahwa berhubungan badan merupakan kebutuhan bagi isteri dan merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan suami.
Wahbah az-Zuhaily dalam karyanya al-Fikih al-Islam wa Adillatuhu mengungkapkan pendapat ulama mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan, karena kehalalan suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya. Sedangkan ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan merupakan kewajiban suami terhadap isteri jika tidak ada uzur (alasan yang dibenarkan).13
Al-Quran dalam beberapa ayatnya mengungkapkan bahwa ada hubungan timbal balik antara suami isteri berkenaan dengan nafkah batin ini. Dalam sebuah ayat yakni surat an-Nisa’ ayat 34 yang berkenaan dengan masalah nusyuz14 Allah SWT. berfirman:
واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا
Artinya: “.. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka (pisah ranjang), dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Ayat di atas berkenaan dengan nusyuz isteri dan cara mengatasinya. Yang dimaksud dengan nusyuz isteri dalam ayat ini adalah pembangkangan isteri terhadap suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Akan tetapi setiap pembangkangan yang dilakukan oleh isteri perlu diteliti terlebih dahulu penyebabnya. Jika ternyata tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh syara’ maka sikapnya tersebut dipandang sebagai perbuatan nusyuz. Dalam ayat tersebut Allah memberikan petunjuk kepada suami agar dalam menghadapi isteri yang nusyuz, hendaklah mencari penyelesaian yang bijaksana. Allah memberikan tiga langkah yang dapat dilakukan oleh suami untuk mengatasi nusyuz isterinya tersebut, yakni: (1) dengan memberi nasehat, (2) meninggalkannya di tempat tidur (pisah ranjang), (3) dengan memukulnya.
Penulis berpandangan bahwa secara eksplisit (ibarat nash)15 ayat di atas menjelaskan tentang solusi yang diberikan Allah kepada suami dalam menghadapi isteri yang nusyuz. Akan tetapi secara implisit (isyarat nash)16, ayat di atas mengungkapkan serta mengandung makna bahwa berhubungan badan merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan suami. Hal ini dipahami dari ungkapan yang ditunjukkan Allah dalam firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 34 “pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka (pisah ranjang)”. Meninggalkan isteri dari berhubungan badan dalam waktu yang cukup lama mengisyaratkan bahwa hubungan seksual merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan oleh suami kecuali dalam hal ia ingin memberikan hukuman ataupun peringatan kepada isteri. Dalam ayat ini seolah-olah Allah mengatakan bahwa jika suami ingin menghukum isterinya karena pembangkangannya maka berilah hukuman dengan menghalanginya dari sesuatu yang sangat diinginkannya. Menghukum dengan sesuatu yang tidak merupakan kebutuhan pastilah tidak akan memberikan pengaruh apa-apa.
Berkenaan dengan masalah ini, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang perempuan menemui Umar bin Khaththab, dia mengadukan nasibnya karena tidak pernah lagi digauli oleh suaminya karena suaminya hanya menghabiskan waktunya untuk beribadat, siang dilaluinya dengan berpuasa sedangkan malam dihabiskannya untuk shalat. Lalu Umar menunjuk Ka’ab al-Asadi untuk menyelesaikan pengaduan perempuan tersebut. Lalu Ka’ab al-Asadi memanggil suami wanita tersebut untuk mengkonfirmasikan kebenaran berita dan pengaduannya. Suaminya membenarkan pengaduan perempuan tersebut, akan tetapi dia membenarkan perbuatannya tersebut dengan alasan bahwa dia menjauhkan diri dari perempuan dan sex karena sedang menekuni ayat-ayat yang diturunkan dalam surat an-Nahl dan as-sab’ut thiwal (tujuh surat yang panjang). Terhadap alasan dan dalih yang digunakan suami perempuan tersebut, Ka’ab al-Asadi menyatakan; sesungguhnya isterimu mempunyai hak atas dirimu, karena itu berikanlah haknya dan janganlah mencari-cari alasan. Keputusan Ka’ab al-Asadi ini sangat dikagumi oleh Umar, kemudian Umar mengangkatnya sebagai Hakim di daerah Bashrah.17
Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengingatkan kewajiban suami untuk menggauli isterinya dalam riwayat berikut:
روي مسلم ان رسول الله (ص) قال: ... ولك فى جماع زوجتك اجر قالو
يا رسول الله اياء تي احد نا شهوته ويكون له فيها اجر ...قال ارايتم لو
وضعها فى حرام اكان عليه فيها وزر ؟ ... فكذا لك اذا وضعها فى حلال
كان له اجر
18
Artinya: “Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:”Bagi kamu menyetubuhi isteri adalah suatu pahala”. Lalu para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah ….., apakah seseorang di antara kita yang menyalurkan syahwatnya akan mendapat pahala?” Jawabnya: bagaimana pendapatmu kalau dia menyalurkan syahwatnya itu pada yang haram, apakah ia berdosa? Begitulah jika ia meletakkan pada yang halal, maka ia mendapat pahala”.

Dari beberapa dalil yang dikemukakan di atas terlihat bahwa berhubungan badan bukan saja merupakan hak suami akan tetapi sebaliknya juga merupakan hak isteri. Sehingga dengan demikian konsekuensi yang ditimbulkannya adalah bahwa salah satu pihak memiliki hak untuk menuntut pasangannya untuk melaksanakan kewajibannya andaikata merasa diabaikan.
Pendapat penulis ini diperkuat dengan argumentasi hadis riwayat Abu Hafs dengan sanad Zaid bin Aslam yang menceritakan bahwa ketika Umar bin Khaththab melakukan ronda di kota Madinah dan lewat di depan rumah salah seorang penduduk, dia mendengar ratapan seorang perempuan:

تطاول هذا الليل واسود جانبه وطال على ان لا خليل الا عبه
والله لو لا خشية الله وحده احرك من هذا السرير ير جوا نبه
ولكن ربي والحياء يكفنى واكرم بعلي ان توطأمراكبه
19
“ Malam memanjang, kiri kanan gelap gulita
Lama kurasakan hidup tanpa teman bercanda
Demi Allah kalau bukan karena takut kepada Allah yang Esa
Pasti terguncang ranjang ini kaki-kakinya
Namun Tuhanku dan rasa malu menjagaku
Kuhormati suamiku agar tak diinjak orang kudanya”

Umar lalu bertanya tentang perempuan tersebut, beliau mendapat jawaban bahwa perempuan tersebut ditinggalkan suaminya karena pergi berperang. Umar lalu meminta perempuan itu untuk menemuinya dan mengirim orang untuk memanggil suaminya kembali. Setelah kejadian tersebut, Umar lalu bertanya kepada putrinya Hafsah perihal berapa lama seorang perempuan tahan ditinggal lama suaminya. Hafsah menyatakan bahwa seorang perempuan itu mampu tahan ditinggal suaminya adalah selama lima bulan atau maksimal enam bulan. Sejak peristiwa tersebut Umar menetapkan bahwa waktu tugas bagi pasukannya untuk bertempur adalah selama enam bulan, setelah itu ditarik kembali untuk digantikan dengan pasukan lain.20
Berdasarkan uraian dan argumentasi yang dikemukakan di atas di atas penulis berpandangan bahwa hubungan seksual merupakan hak dan kewajiban timbal balik bagi kedua belah pihak. Penulis berpandangan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa akad nikah hanya menimbulkan kewajiban sepihak dalam hal bersetubuh, akan membuat para suami tergiring melakukan penganiayaan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kesadaran beragama.
Dalam masyarakat yang tertutup, pembicaraan masalah ini merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kondisi demikian seorang isteri tidak akan mampu berbuat banyak selain mengharapkan rasa kasihan dari suami, karena adanya persepsi bahwa dia tidak berhak untuk menuntut suami untuk memenuhi kewajiban non materinya (nafkah batin).
Ketidakpedulian suami terhadap sesuatu hal yang sesungguhnya sangat dibutuhkan isteri adalah merupakan penganiayaan dan bisa membawa mudharat bagi isteri. Katakanlah persetubuhan tersebut merupakan hak suami, di mana dia mempunyai kebebasan untuk tidak menggunakan haknya. Akan tetapi suatu hal yang harus dipahami adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki hak, namun dalam mempergunakan hak tersebut tetap tidak boleh dilakukan untuk merugikan pihak lain, karena pada prinsipnya hak tersebut adalah suatu jalan untuk mencapai kemaslahatan.
Dalam penggunaan hak, seseorang tidak boleh merugikan dan memberi mudharat bagi pihak lain dalam artian melakukan tindak kesewenang-wenangan dalam penggunaan hak (ta’assuf fi isti’mal al haqq). Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW. : La dharar wala dhirar ( tidak boleh memudharatkan (orang lain) dan tidak boleh pula dimudharatkan (orang lain). Jadi segala bentuk tindakan dalam penggunaan hak yang bisa menimbulkan kerugian dan mafsadat bagi pihak lain, tergolong dalam perbuatan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, dan kemudharatan yang ditimbulkan harus dipertanggungjawabkan oleh pihak yang menggunakan hak.

Analisa Yuridis Kompensasi Materil terhadap Nafkah Batin ditinjau dari Konsep Fikih

Dalam penjelasan sebelumnya telah penulis kemukakan bahwa berhubungan badan merupakan hak timbal balik suami isteri. Sehingga ketika salah satu pihak mengabaikan hal tersebut maka pihak lain yang merasa dirugikan berhak untuk melakukan tuntutan.
Persoalannya kemudian adalah apakah sanksi yang bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang terhadap suami yang meninggalkan isterinya dalam waktu yang cukup lama sedangkan isteri tidak rela atau suami tetap berada di tempat kediaman akan tetapi dia mengabaikan isterinya.
Berkaitan dengan tuntutan isteri terhadap suaminya yang telah mengabaikan dan melalaikan pemberian nafkah yang sifatnya jelas berbentuk materi tidak menimbulkan persoalan, ulama pada prinsipnya sependapat bahwa nafkah yang telah berlalu dan tidak dibayarkan oleh suami kepada isteri dengan alasan yang tidak bisa dibenarkan oleh syara’ dan justru dikarenakan suami meninggalkan tempat kediaman tanpa kerelaan isteri maka isteri berhak untuk melakukan tuntutan.
Persoalannya adalah ketika yang dilalaikan oleh suami itu adalah hak isteri yang bersifat non materi (nafkah batin). Apa jalan keluar yang bisa ditempuh, jika suami dalam waktu yang cukup lama, melebihi batas waktu yang dikemukakan oleh ulama-ulama fikih (dalam hal ini penulis pikir berdasarkan ‘urf), mengabaikan isterinya dengan tidak memenuhi kebutuhan nafkah batinnya, sedang isteri tidak redha diperlakukan demikian dan merasa teraniaya dengan perlakuan suaminya tersebut.
Dalam konsep fikih, jalan keluar yang bisa ditempuh oleh isteri ketika suami tidak melaksanakan dan mengabaikan hak isteri yang berkenaan dengan kebutuhan yang bersifat non materi, yakni dengan mengajukan tuntutan dalam bentuk gugatan cerai ke Pengadilan.
Jadi usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh isteri hanyalah dengan mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya, tanpa adanya upaya untuk mengembalikan hak-haknya yang terzalimi, di mana dalam hal ini berkaitan dengan hak isteri yang sifatnya non materi (nafkah batin).
Secara ekplisit, pertanggungjawaban suami terhadap kelalaiannya dalam memenuhi nafkah batin isteri dan mengkompensasikannya dengan materi tidak akan ditemukan padanannya dalam nash, baik al-Quran maupun Sunnah. Akan tetapi apakah dengan tiadanya aturan itu, juga berarti tidak membawa konsekuensi hukum apapun terhadap suami. Padahal dia telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan teraniayanya isteri secara psikologis. Tanpa adanya sanksi terhadap pelaku, akan memberikan peluang bagi para suami untuk melakukan tindak kesewenang-wenangan.
Persoalannya adalah dapatkah pelanggaran yang dilakukan oleh suami dalam bentuk tidak memenuhi nafkah batin isteri dapat dihukum dan dikompensasikan dalam bentuk materi. Terhadap hal ini berkembang pendapat bahwa nafkah batin tersebut tidak dapat dituntut dalam bentuk kompensasi materi dengan alasan tidak dikenal dalam hukum Islam karena tidak satupun nash yang menjelaskan tentang persoalan itu, demikian juga halnya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hal itu maka tuntutan isteri kepada suami terhadap kelalaiannya dalam menunaikan kewajiban non materi tidak bisa dikabulkan. Di samping alasan di atas, penolakan terhadap kompensasi materi itu juga berdasarkan pemikiran bahwa sesuatu yang sifatnya non materi tidak bisa dituntut dalam bentuk materi, dengan alasan sulit untuk mengukur kewajiban non materi tersebut.
Penulis melihat ada semacam ketidakadilan dalam hal ini, penderitaan dan siksaan batin yang dialami oleh isteri yang ditinggalkan dan diabaikan begitu saja tidak dipertimbangkan sama sekali. Tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada pihak suami yang telah melakukan kezaliman. Padahal akibat kelalaiannya tersebut telah mengakibatkan teraniayanya orang lain yakni isteri. Harus disadari bahwa nash dari wahyu sangat terbatas, sementara itu persoalan dan permasalahan yang timbul akan selalu berkembang. Anggapan bahwa al-Quran mengandung segala-galanya secara lengkap, termasuk di dalamnya soal hukum, sebenarnya kurang tepat. Ahli-ahli hukum sejak awal telah mengetahui bahwa ayat hukum dalam al-Quran jumlahnya sedikit. Pandangan ini disadari terutama oleh ahli-ahli hukum Islam abad kedua puluh.21
Kemudian apakah setiap sesuatu yang tidak didapati ketentuan hukumnya secara eksplisit di dalam nash, harus didiamkan tanpa berusaha untuk menggalinya dari nash itu sendiri atau norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga membiarkan perkembangan dan perubahan sosial terjadi tanpa perlu mencari upaya hukumnya. Harus disadari bahwa hukum Islam pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia, sehingga diperlukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang tidak didapati secara eksplisit aturannya di dalam nash.
Al-Buthi menyatakan dimana ditemukan kemaslahatan maka disitulah syari’at (hukum) Allah. Oleh karena itu tidak patut berbuat kaku pada nash (al-Quran dan Hadis) dan fatwa-fatwa terdahulu dan tidak patut pula menutup diri dari perkembangan zaman dan kemaslahatan kekinian.22
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap nash baik al-Quran maupun hadis diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam selalu mempertimbangkan kemaslahatan manusia, hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT surat al-Hajj ayat 78 berikut:
ماجعل عليكم فى الد ين من حرج
Artinya: Dan tiada sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan

Berkaitan dengan persoalan yang dibahas penulis berpendapat bahwa metode ijtihad yang paling tepat digunakan untuk mengistinbathkan hukum adalah metode istislahi. Karena persoalan kompensasi materi ini tidak ada nash yang secara eksplisit mendukungnya dan tidak ada pula yang menolaknya akan tetapi kemaslahatan ini didukung oleh nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumlah nash).
Jika dicermati secara mendalam persoalan ini, akan didapati dalam al-Quran ada isyarat nash yang menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang pada dasarnya adalah berbentuk non materi, diganjar dengan keharusan melaksanakan sanksi dalam bentuk materi. Di antaranya adalah keharusan untuk membayar kafarat dalam bentuk materi, seperti kafarat sumpah ila’ 23, pelanggaran terhadap larangan berhubungan seksual dalam puasa Ramadhan, zihar 24, dan sebagainya. Terhadap pelanggaran yang dilakukan tersebut maka yang bersangkutan dikenai kewajiban membayar kafarat antara lain berupa keharusan memberi makan orang miskin.
Ada tiga alternatif hukuman yang harus dijalani oleh seseorang yang melakukan perbuatan dan pelanggaran hukum dalam bentuk di atas. Dari tiga alternatif hukuman yang diberikan, dua jenis di antaranya adalah dalam bentuk keharusan untuk membayarkan sejumlah uang yakni dengan memerdekakan budak dan memberi makan 60 orang miskin. Demikian juga halnya ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang melakukan hubungan di siang hari bulan Ramadhan, mereka pun di beri tiga alternatif hukuman yang harus dijalani dan dua di antaranya pun adalah dalam bentuk materi, demikian juga halnya dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap suami yang meng ila’ isterinya.
Hal ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya di dalam Islam telah dikenal adanya kompensasi materi yang harus dibayarkan oleh seseorang yang melakukan pelanggaran dikarenakan melakukan perbuatan yang sifatnya non materi. Ini mengisyarat kan bahwa pelanggaran terhadap larangan yang sifatnya non materi, maka hukumannya dapat berupa materi, dalam bentuk memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin. Untuk memerdekakan budak tentunya dibutuhkan dana yang cukup besar, dan sanksi ini dianggap cukup efektif untuk menanggulangi dan membuat jera para pelaku. Sekali pun argumentasi di atas berkenaan dengan hak Allah akan tetapi hal tersebut memberikan sinyal bahwa kompensasi materi terhadap perbuatan non materi dimungkinkan.
Di samping argumentasi diatas, dalam hukum Islam seseorang bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya yang telah mengakibatkan mudharat bagi pihak lain. Artinya segala hal yang menimbulkan mafsadat dan mudharat baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain, wajib diantisipasi agar jangan sampai terjadi. Di antara upaya untuk mengantisipasinya ialah adanya kewajiban untuk meminta kompensasi kepada pihak yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian secara materi maupun mental.
Penulis beranggapan bahwa hal ini cukup kuat untuk menjadi dasar bolehnya isteri melakukan tuntutan kepada suami untuk mengkompensasikan nafkah batin yang telah dilalaikan oleh suaminya dalam jangka waktu yang tidak bisa ditolerir lagi oleh pengadilan.
Dengan analisa serta dalil-dalil yang diungkapkan di atas penulis berkesimpulan bahwa tuntutan kompensasi materil terhadap kelalaian suami dalam memenuhi nafkah batin isteri dapat diterima dalam khazanah hukum Islam. Sekalipun nash secara eksplisit tidak menunjuk persoalan ini, akan tetapi dari beberapa isyarat nash yang ditunjuknya serta maqashid syari’ah yang dituju, terlihat bahwa sesungguhnya setiap perbuatan yang membawa mudarat bagi orang lain harus dihindari, dan bagi para pelakunya diberikan sanksi yang bisa membuatnya jera dari mengulangi perbuatan yang sama.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa persoalan kompensasi materi terhadap kewajiban non materi merupakan salah satu persoalan ijtihadiyah, artinya terbuka peluang untuk melakukan penafsiran dan penggalian hukum terhadapnya, karena persoalan ini merupakan sesuatu yang baru yang jika tidak ditanggapi secara serius akan memberikan peluang bagi para suami untuk menyia-nyiakan isterinya, sementara resiko yang akan didapat oleh suami cumalah tuntutan cerai dari isteri.
Penulis berpandangan bahwa suami harus bertanggung jawab terhadap semua penderitaan yang dialami oleh isteri akibat dari kelalaiannya. Segala bentuk tindakan yang menimbulkan kerugian baik materi maupun non materi harus dipertanggung-jawabkan. Jadi konsekuensi yang ditimbulkan dari kemudharatan yang dilakukan oleh suami adalah adanya kewajiban untuk membayar ganti rugi atas perbuatannya. Salah satu bentuk pertanggungjawaban terhadap kelalaian yang telah dilakukan itu adalah keharusan untuk mengkompensasikannya dalam bentuk materi. Jadi di samping gugatan cerai yang diajukannya juga terbuka peluang bagi isteri untuk melakukan tuntutan materi sebagai kompensasi atas penderitaan yang dialaminya akibat perlakuan suami yang dengan sengaja mengabaikannya. Bagaimanapun efek dan dampak yang ditimbulkan dengan tidak dipenuhinya kebutuhan nafkah batin isteri justru lebih besar daripada tidak terpenuhinya nafkah dalam bentuk materi.

Analisa Yuridis Kompensasi Materil terhadap Nafkah Batin ditinjau dari Perundang-undangan

Satu-satunya jalan keluar yang diberikan jika ada pihak yang keberatan dengan kelalaian pihak lain adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat (5):
“Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”
Dari bunyi pasal di atas dipahami bahwa jika isteri merasa keberatan dan tidak berkenan dengan perlakuan suaminya maka isteri memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama agar suami memenuhi haknya yang telah diabaikannya. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur lebih lanjut tentang sanksi selain pemutusan hubungan perkawinan. Padahal penderitaan dan kesengsaraan yang dialami isteri tidak terbayangkan dan bahkan bisa membawanya pada perbuatan nista
Penulis berpandangan bahwa perbuatan suami yang telah melalaikan nafkah batin terhadap isteri dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Para ahli hukum perdata mengungkapkan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) bukan saja mengandung pengertian sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga meliputi perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.25 Perbuatan melawan hukum tersebut tidak hanya suatu perbuatan positif (aktif) tetapi juga berupa setiap “tidak berbuat” yang dapat dipandang sebagai melawan hukum karena telah menimbulkan kerugian.26
Jadi perbuatan melawan hukum mempunyai pengertian yang cukup luas, artinya bukan hanya mencakup perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum, melainkan juga terkait dengan pelanggaran terhadap norma lain seperti, agama, kesusilaan, adat kebiasaan dan sebagainya, andaikata dengan perbuatan atau tidak berbuat, menimbulkan kerugian bagi orang lain baik yang sifatnya materi maupun non materi.
Kitab Undang Hukum Perdata pasal 1365 menyatakan bahwa:
”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. 27
Berdasarkan pasal di atas, jika seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum dan telah terbukti kesalahannya, maka terhadap dirinya dapat dilakukan tuntutan untuk mengganti kerugian yang telah timbulkan.
Berdasarkan uraian di atas penulis berpandangan bahwa perbuatan suami dalam bentuk “tidak berbuat” sesuatu yang seharusnya dilakukan yakni keharusan untuk memenuhi nafkah batin isteri dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatannya dengan meninggalkan ataupun mengabaikan isterinya dalam waktu yang cukup lama telah mengakibatkan teraniayanya isteri secara mental karena tidak terpenuhinya kebutuhan nafkah batin tersebut. Terhadap pelanggaran yang dilakukannya itu dapat dituntut dengan ganti rugi sejumlah uang.
Adanya pendapat yang menyatakan bahwa persoalan ini tidak ada aturannya dalam peraturan perundang-undangan, dan oleh karena itu terhadap persoalan yang muncul dan berkaitan dengan kompensasi materi terhadap kewajiban non materi suami ini tidak bisa dikabulkan, penulis melihat bahwa mereka ini masih dipengaruhi oleh pendapat yang berkembang diabad ke–19 yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjalankan keadaan hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan perundang - undangan. Penganut paham ini dikenal dalam ilmu hukum sebagai penganut aliran legisme 28, padahal pandangan ini tidak dianut lagi oleh para ahli hukum modern.
Dalam hal ini penulis mengutip teori yang dikemukakan oleh Paul Scholten yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (open system van het recht)29. Pendapat ini lahir dari kenyataan bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.
Algemene Bepalingen Van Wutgeving Voor Indonesia (ketentuan umum peraturan perundang-undangan untuk Indonesia) yang disingkat A.B. menegaskan bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara apabila undang-undang tidak memberi peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan (hasil ijtihad) sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh pasal 22 A.B. menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara yang serupa. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 27 UU No. 14 tahun 1970).
Bahkan di dunia peradilan dikenal adanya istilah “contra legem” 30, artinya di dalam memutus dan menyelesaikan suatu perkara hakim diberikan kewenangan untuk mengabaikan suatu pasal undang-undang, jika dipandang ketentuan tersebut bertentangan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Kompilasi Hukum Islam pada pasal 229 menyatakan “hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Beranjak dari argumentasi di atas penulis berpandangan bahwa sangat naif sekali pendapat yang menyatakan tidak adanya aturan secara eksplisit dalam undang-undang menyebabkan tidak dikabulkannya suatu tuntutan tanpa berupaya sama sekali menggali hukumnya baik melalui peraturan perundang-undangan yang ada maupun nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, kewajiban hakimlah dalam hal ini untuk menemukan hukumnya. Suatu hal yang harus dipahami adalah bahwa seringkali suatu peristiwa lebih dahulu munculnya daripada aturan hukum. Oleh karena itu ketika menghadapi perkara-perkara yang diajukan oleh pencari keadilan sementara aturan undang-undang belum ada mengatur hal demikian, maka hakim berkewajiban untuk memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum.
Berkaitan dengan besarnya jumlah kompensasi yang harus dibayarkannya diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim. Menurut penulis tidak perlu dibuat nominal yang pasti berdasarkan lamanya suami mengabaikan kewajibannya tersebut, karena adanya nominal justru akan membuat ketidakadilan disebabkan status dan kondisi perekonomian seseorang tidaklah sama. Jalan keluar yang paling mendekati kebenaran dalam menentukan ukuran serta jumlah kompensasi materil yang harus dibayarkan oleh suami terhadap kelalaiannya, menurut penulis adalah berdasarkan kepada kemampuan ekonomi pihak suami serta berdasarkan kepatutan. Akan tetapi besarnya jumlah sanksi yang harus dibayarkan tersebut haruslah tetap mengacu kepada sifat dari sanksi itu sendiri, yakni bersifat agar pelaku maupun orang lain tidak berani melakukan hal yang sama sekaligus untuk membuat para pelaku jera.
Dari beberapa konsep dan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para ulama fikih maupun peraturan perundang-undangan, terlihat bahwa sekalipun secara eksplisit baik nash maupun peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang kompensasi materi terhadap nafkah batin yang diabaikan oleh suami dengan waktu yang tidak bisa ditolerir dan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan oleh syara’, akan tetapi penulis melihat adanya indikasi dan isyarat nash yang memungkinkan adanya kompensasi materi.
Adanya pendapat yang menyatakan bahwa tidak mungkin suatu perbuatan yang sifatnya non materi dimaterikan tertolak dengan argumentasi bahwa di dalam al-Quran, ketika menetapkan hukuman terhadap pelanggaran dalam bentuk perbuatan yang sifatnya non materi, Allah lalu menetapkan hukuman bagi si pelaku dalam bentuk materi, seperti hukuman yang berkenaan dengan ila’, zihar, melakukan hubungan di siang hari pada bulan Ramadhan dan sebagainya.
Demikian juga halnya ketika merujuk kepada aturan perundang-undangan, penulis juga melihat adanya indikasi dimungkinkannya kompensasi materi terhadap kelalaian suami dalam menunaikan nafkah batin tersebut, ketika hal itu dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum. Di mana akibat perbuatannya isteri mengalami kerugian. Kerugian yang dialami isteri bukan dalam bentuk materi akan tetapi secara psikologis isteri mengalami tekanan mental. Tekanan perasaan serta perasaan teraniaya isteri selama ditinggalkan dan diabaikan serta dampak yang ditimbulkan justru lebih besar dan tidak bisa diindahkan begitu saja. Sesuai dengan kaedah fikih:
الضرر يزال
“Kemudharatan harus dihilangkan”,
Bagi pelaku haruslah diberikan sanksi, dimana dalam hal ini tidak cukup dengan hanya putusnya perkawinan akan tetapi salah satu bentuknya menurut penulis adalah dengan keharusan untuk membayarkan kompensasi dalam bentuk sejumlah uang kepada isteri yang telah ditinggalkannya (andaikata isteri menuntut), sehingga adanya tuntutan yang semacam itu bisa membuat pelaku serta orang lain jera dan berpikir ulang untuk melakukan tindak kesewenang-wenangan.

Penutup Perubahan sosial seringkali lebih cepat daripada perubahan hukum, sehingga seringkali muncul sebuah kasus ataupun peristiwa sedangkan perangkat hukum yang mengatur persoalan itu belum ada. Oleh karena itu ketika aturan perundang-undangan belum satupun mengatur berkenaan dengan peristiwa itu maka kepada juris diharapkan dapat menggalinya dari norma-norma yang hidup di masyarakat serta norma agama. Bagaimanapun, persoalan tuntutan kompensasi materi terhadap kelalaian suami dalam memenuhi nafkah batin isteri merupakan masalah yang termasuk ke dalam lapangan ijtihadiyah, sehingga terbuka kesempatan bagi kita menggali serta menelaah secara mendalam untuk mengetahui hukumnya.

4 komentar:

  1. Tulisan yang bagus sekali....

    BalasHapus
  2. Pak Razi.. Izin Copy yaa..?? Fb MS-Redelong gak ada bahan .. :D
    (Rahmat)

    BalasHapus
  3. bagus.. belom sempat baca haaaaaa

    BalasHapus

Kumpulan Foto ......