Minggu, 05 April 2009

PERKAWINAN CAMPURAN DAN BEDA AGAMA

Oleh: Fakhrurazi

A. PERKAWINAN CAMPURAN

Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974, perkawinan campuran di atur dalam Regeling op gemengde huwelijken Stb. 1898 Nomor 158. Pasal 1 Stb. 1898 Nomor 158 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.
Hukum-hukum yang berlainan yang dimaksud defenisi di atas mencakup perbedaan golongan penduduk (intergentiel) seperti antara golongan bumi putra dengan golongan eropa, perbedaan daerah tempat tinggal (interteritorial) seperti antara orang Jawa dengan Sumatera Barat, perbedaan agama yang dianut (interreligeus) seperti antara penganut agama Islam dengan penganut agama Kristen dan perbedaan warga Negara (international). Jadi perkawinan campuran yang termaktub dalam Stb. 1898 Nomor 158 mengandung makna yang sangat luas.
Sementara UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dari dua defenisi yang diungkapkan di atas terlihat adanya perbedaan yang jelas dan tegas, dimana UU No. 1 tahun 1974 menitikberatkan pada adanya perbedaan kewarganegaraan saja, bukan karena perbedaan-perbedaan selain itu. Sehingga perkawinan antara WNI asli dengan WNI turunan cina, atau dua orang WNI yang berbeda agama tidak tergolong kepada perkawinan campuran.
Selanjutnya Pasal 66 UU No. 1 tahun 1974 menegaskan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Ketentuan yang termuat dalam pasal 66 ini sekaligus menafikan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan, termasuk persoalan perkawinan campuran ini. Sehingga istilah perkawinan campuran yang dikenal dan diberlakukan saat ini hanyalah perkawinan yang terjadi antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan warga Negara, dimana salah satunya berkewarganegaraan Indonesia.

B. Perkawinan Beda Agama
1. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam
Yang dimaksud dengan perkawinan beda agama disini adalah perkawinan antara pria/wanita muslim dengan wanita/pria non muslim. Dalam al-Quran disebutkan bahwa orang yang non muslim ini setidaknya terdiri dari dua golongan, yakni golongan musyrik dan golongan ahli kitab.
Berkenaan dengan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik, ataupun perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik, Allah secara tegas telah menyatakan keharamannya dalam al-quran surat al-Baqarah ayat 221:


“ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu...”.

Berdasarkan firman Allah di atas, para ulama sepakat tentang keharaman menikahi laki-laki ataupun wanita musyrik. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita ahli kitab. Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang persoalan ini:
Pertama, Golongan pertama berpendapat bahwa menikahi wanita ahlul kitab halal hukumnya. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama, mulai dari sahabat seperti Usman bin Affan, Ibn Abbas, Thalhah, Jabir dan Huzaifah, tabi’in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer. Ada beberapa argumentasi yang menjadi landasan pendapat pertama ini,
1. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5:


….(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu ….

Firman Allah di atas jelas menunjukkan kebolehan dan kehalalan menikahi wanita dari kalangan ahlul kitab.
2. Larangan mengawini laki-laki dan perempuan musyrik sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 221 menunjukkan adanya perbedaan antara status musyrikah dengan ahlul kitab, karena masing-masing punya ketentuan hukum sendiri. Al-Thabathaba’i menyatakan larangan mengawini laki-laki musyrik dan wanita musyrik tersebut ditujukan kepada laki-laki dan wanita dari kalangan penyembah berhala dan tidak termasuk kedalamnya ahlul kitab[1], oleh karena itu menikahi ahlul kitab tidak dilarang.
3. Pemahaman mereka terhadap kata penghubung wau (dan), yang menghubungkan kata ahlul kitab dengan musyrik dalam al-Quran. Seperti dalam surat al-Bayyinah ayat 1.


“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

Kata “wau” yang berarti “dan”, mengandung pengertian adanya perbedaan antara dua kata yang dihubungkannya. Oleh karena itu ahlul kitab tidak sama dengan musyrik.
4. Sekalipun akidah ahlul kitab ketika al-Quran diturunkan tidak lain adalah kemusyrikan sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Umar, namun kenyataannya al-Quran tetap membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik. Sedang al-Quran tidak mungkin salah atau keliru sehingga timbul kerancuan dalam susunan redaksinya.
5. Praktek Rasulullah SAW yang mengawini Maria al-Qibtiyah seorang perempuan Nasrani. Hal ini kemudian juga diikuti oleh para sahabat. Di antara sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni; Usman bin Affan yang menikahi Na’ilah binti al-Farafisah al-Kalbiyah yang beragama Nasrani dan Huzaifah bin Yaman menikahi seorang perempuan Yahudi yang berasal dari daerah Madyan.
Mahmud Syaltut menyatakan bahwa pendapat yang membolehkan (kawin dengan wanita kitabiyah) didasarkan atas kaedah syar’iyah yang normal, yakni bahwa laki-laki itu memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap isteri, serta memiliki wewenang dan pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Seorang suami muslim berkewajiban mendidik sesuai dengan tanggung jawab kepemimpinannya terhadap anak-anak dan keluarganya dengan akhlak islami. Dan laki-laki muslim dibolehkan menikahi wanita kitabiyah supaya perkawinan ini membawa misi kasih sayang dan keharmonisan, sehingga akan terkikis dari hati isterinya ketidaksenangan terhadap Islam, dan dia akan menerima perlakuan yang baik dari suaminya yang muslim sedang dia sendiri adalah kitabiyah yang berbeda agamanya dari suaminya, ia akan mengenal keindahan Islam dan keutamaannya langsung secara praktis, sehingga ia akan mendapatkan dampak pengakuan baik itu ketenangan dan kebebasan beragama, dan hak-haknya secara sempurna lagi tidak kurang sebagai isteri.[2]
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa pertimbangan dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab adalah karena terdapat kesamaan antara wanita ahlul kitab dan orang muslim dalam hal prinsip-prinsip pokok (al-Mabadi al-asasiyah) keimanan, seperti masalah ketuhanan, kepercayaan tentang adanya hari kemudian, perhitungan pahala dan dosa. Titik-titik kesamaan tersebut merupakan sarana dalam rangka mewujudkan kelanggengan dan kebahagiaan kehidupan berumah tangga. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa diharapkan perempuan ahlul kitab yang dinikahi laki-laki muslim tersebut akan memeluk Islam setelah mengetahui keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam ajaran Islam.

2. Golongan kedua berpendapat bahwa menikahi wanita ahlul kitab itu hukumnya haram.
Sahabat yang berpendapat seperti ini adalah Ibn Umar. Ibn Umar berpandangan bahwa ahlul kitab itu adalah bagian dari orang-orang-Musyrik. Sementara Allah telah menyatakan dengan tegas dalam al-Quran tentang keharaman menikahi orang musyrik. Ada beberapa dalil yang digunakan golongan yang menyatakan keharaman menikahi wanita ahlul kitab ini:
a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221


“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman …… “

Karena keberadaan ahlul kitab dianggap merupakan bagian dari orang musyrik, maka ketentuan yang termuat dalam surat al-Baqarah ayat 221 juga berlaku bagi penganut ahlul kitab. Ibn Umar dalam sebuah ungkapannya menyatakan : “Saya tidak tahu lagi adakah syirik yang lebih besar dari ungkapan seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah”.
b. Firman Allah dalam surat al-Mumtahinah ayat 10:

“Janganlah kamu pegang (ceraikanlah) perempuan-perempuan kafir yang telah kamu nikahi”

c. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 72


Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.

d. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 73



Sesungguhnya kafirlah orang orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa

Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka golongan ini berkesimpulan bahwa jelas ada larangan menikahi wanita-wanita kafir. Sementara Ahlul kitab tergolong kepada orang kafir musyrik, karena orang-orang nasrani berpendirian bahwa Isa adalah tuhan, demikian juga dengan orang –orang Yahudi yang menuhankan Uzair, sedangkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48 menyatakan dengan tegas bahwa dosa syirik tidak akan terampuni, hingga mereka mau bertobat sebelum mati, yang berbunyi sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Adapun firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan kehalalan menikahi wanita ahlul kitab hendaklah di ihtimalkan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam atau di ihtimalkan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi wanita ahlul kitab itu adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
Muhammad Ali Al-Shabuni mengomentari pendapat kedua ini dan menyatakan bahwa pendapat Ibn Umar ini didorong oleh kehati-hatian yang amat sangat akan kemungkinan timbulnya fitnah bagi suami atau anak-anaknya jika kawin dengan wanita ahlul kitab. Sebab, kehidupan suami isteri akan membawa konsekuensi logis berupa timbulnya cinta kasih di antara mereka, dan hal itu dapat membawa suami condong kepada agama isterinya. Di samping itu, kebanyakan anak condong kepada ibunya.[3]

3. Golongan ketiga berpendapat bahwa menikahi wanita ahlul kitab halal hukumnya, namun siyasah tidak menghendakinya.
Pendapat ini didasari oleh sebuah riwayat dimana Umar bin Khatab memerintahkan para sahabat yang menikahi wanita dari kalangan ahlul kitab untuk menceraikannya, termasuk Huzaifah. Umar bin Khatab menyatakan bahwa tidak haram bagi Huzaifah menikahi wanita ahlul kitab tersebut, namun Umar Khawatir perbuatan Huzaifah dan kawan-kawan akan diikuti oleh pemuda muslim yang lain, sehingga nantinya akan ada kecenderungan memilih perempuan ahlul kitab yang cantik daripada perempuan muslimah dan akhirnya akan menimbulkan fitnah. Jadi larangan Umar bin Khatab untuk menikahi wanita ahlul kitab lebih dikarenakan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan akibat perkawinan tersebut serta dengan pertimbangan maslahat.
Pendapat Umar bin Khatab ini sejalan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, tanggal 1 Juni 1980 yang menyatakan:
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.
Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.[4]
Dari fatwa MUI di atas terlihat bahwa keharaman laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab lebih didasarkan pada pertimbangan maslahat dan untuk mengantisipasi mafsadat serta segala dampak negatif yang dikahawatirkan timbul dari perkawinan itu.
Sementara itu dalam hal agama apa sajakah yang tergolong kepada ahlul kitab, para ulama berbeda pendapat. Berdasarkan petunjuk al-Quran, ulama tafsir dan fikih sepakat menyatakan komunitas Yahudi dan Nasrani adalah ahlul kitab, sedangkan komunitas lainnya diperselisihkan. Dengan kata lain setiap al-Quran menyebut istilah ahlul kitab dengan berbagai istilahnya, maka yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani baik secara bersama-sama maupun secara terpisah. Al-Quran menyebut kaum Yahudi dan Nasrani dengan panggilan ahlul kitab untuk membedakan mereka dengan kaum penyembah berhala.
Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, Term ahlul kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas ini, mereka tidak menyebutnya dengan ahlul kitab. Sementara Imam al-Syafi’i memahami istilah ahlul kitab itu sebatas orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan Israel dengan alasan bahwa Nabi Musa dan Isa diutus khusus untuk mereka. Dengan demikian mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari keturunan Bani Israel, tidak dapat dikategorikan kepada ahlul kitab.[5]
Sedangkan Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa Majusi dan Shab’un termasuk juga dalam ahlul kitab selain Yahudi dan Nasrani, bahkan termasuk juga Hindu, Budha, Kong Fu Tse dan Shinto. Pendapatnya ini didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi al-Quran bahwa semua umat sebelum diutusnya Rasulullah SAW telah diutus seorang Rasul sebagai petunjuk kepada kebenaran, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Fathir ayat 24:

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

Hanya saja sebagian mereka tidak diinformasikan oleh al-Quran, seperti dijelaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 164:


dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu …

Sementara itu, al-Thabari memahami ahlul kitab itu secara ideologis. Ahlul Kitab menunjuk kepada pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan siapapun mereka.[6]
Al-Thabathaba’i menyatakan, penggunaan term ahlul kitab dalam al-Quran secara khusus menunjuk kaum Yahudi dan Nasrani[7]. Pendapat ini juga dipegangi oleh Quraish Shihab yang berpandangan bahwa ia memiliki kecenderungan memahami ahlul kitab itu sebagai penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun, dan dari keturunan siapapun mereka. Pendapat ini didasari dengan alasan bahwa penggunaan term ahlul kitab dalam al-Quran selalu menunjuk kepada kedua komunitas pemeluk agama tersebut.

2. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 sangat erat kaitannya dengan agama, karena perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengaturan tentang perkawinan ini semakin ditegaskan pada pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ketentuan ini mengandung makna bahwa di Indonesia tidak boleh ada dan tidak boleh dilangsungkan perkawinan di luar hukum agama atau kepercayaan yang diakui eksistensinya di Indonesia. Dan sebagai konsekuensi dianutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalau dilakukan menurut hukum agama, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut kemudian dalam pasal 8 huruf (f) Undang-Undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Kompilasi Hukum Islam kemudian secara lebih kongkit menyatakan dalam pasal 40 huruf (c) bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Selanjutnya pasal 44 menyebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam bahkan tidak membedakan lagi antara musyrik dengan ahlul kitab. Artinya setiap yang tidak beragama Islam tidak dibenarkan untuk dinikahi oleh pria atau wanita muslim.
Larangan yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam tersebut mengandung makna bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sama sekali tidak membenarkan terjadinya perkawinan antara orang yang berbeda agama. Larangan yang tercantum dalam dalam peraturan perundang-undangan ini selaras dan sejalan dengan hukum Islam.
Sehingga adanya pendapat yang menyatakan bahwa ada kekosongan hukum, karena belum diaturnya perkawinan beda agama dalam bentuk peraturan perundang-undangan kurang tepat, karena sesungguhnya perkawinan yang demikian memang tidak dibenarkan, dan sesungguhnya dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sudah dilarang secara tegas. Argumentasi yang digunakan yakni dengan alasan pluralisme, kondisi masyarakat yang sangat majemuk serta dengan alasan tidak bisa menghindari orang jatuh cinta (berbeda agama), tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran perkawinan beda agama. Bagaimana mungkin dibenarkan seorang muslimah menikah dengan non muslim, sementara Allah secara tegas telah menyatakan keharamannya, hanya dengan dalih cinta atau hak azasi manusia. Pembenaran terhadap perkawinan beda agama saat ini, sangat bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan hukum Islam.

Footnoot:

[1]Muhammad Husain al-Thabathaba’I, al-Mizan fi tafsir al-Quran, (Beirut: Mu’assasah al-‘A’lam li al-Muthbu’ah, 1983), Juz. II, h. 203.
[2]Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 278-279
[3]Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawa’I’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 537.
[4]Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Mesjid Istiqlal, 1995), h. 91
[5]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung, Mizan, 1996), h. 366
[6]Ibn Jaris al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), Juz. VI, h. 102.

[7]M. Galib. M, Ahl al-Kitab “Makna dan Cakupannya”, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan Foto ......