Selasa, 07 April 2009

PENCATATAN PERKAWINAN

Oleh: Fakhrurazi

Dikalangan masyarakat Islam masih terdapat dua cara pandang antagonistik terhadap norma hukum atau peraturan yang ada. Di satu sisi aturan hukum yang dinyatakan bersumber dari al-Quran dan Sunnah atau selama dikaitkan dengan produk pemikiran fuqaha, sekalipun memiliki dimensi khilafiah dipandang memiliki nilai sakralistik dan bersifat mengikat. Sementara ketika norma hukum itu telah berbentuk dan diformulasikan dalam wujud peraturan perundang-undangan, walaupun menjadi bagian dari kerangka organik atau bahkan diserap dari dan tidak bertentangan dengan aturan hukum jenis pertama tetap dipandang sebagai aturan yang tidak memiliki nilai sakralistik sehingga dapat dikesampingkan dengan mudah. Salah satu hal yang dianggap baru dan belum mendapat tempat secara utuh di masyarakat adalah keharusan adanya pencatatan terhadap setiap perkawinan yang dilangsungkan.

Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975:
pasal 2 ayat (1):
“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”.

Pasal 11 ayat (3):
“Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”

Pasal 13 ayat (2)
“Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan”.
Sementara Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan keharusan pencatatan perkawinan ini pada:

Pasal 5 ayat (1):
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pasal 5 ayat (2):
“Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.”
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1):
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”
Dari beberapa ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan pencatatan perkawinan di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi pencatatan perkawinan dari segi hukum sudah sangat kuat sekali. Secara tegas dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Urgensi Pencatatan Perkawinan

Untuk kondisi saat ini, pencatatan perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen sekali, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masingnya punya hak dan kepentingan dari perkawinan tersebut.
Dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah adalah dengan maksud Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi disini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut melanggar ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu Pegawai Pencatat Nikah diberi wewenang:
Pertama, memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi. Dalam PP No. 9 tahun 1975 prosedur untuk melakukan pernikahan ini diatur dengan sangat rinci sekali yakni pasal 3 sampai dengan pasal 9 sebagai berikut:
Pasal 3
(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)Pegawai Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu ;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Kedua, Mencegah terjadinya perkawinan jika syarat-syarat perkawinan belum terpenuhi. Ketika Pegawai Pencatat Nikah mengetahui bahwa calon suami masih terikat perkawinan dengan wanita lain, maka Pegawai Pencatat Nikah harus mencegah dan memberitahukan kepada calon suami untuk mengurus izin poligami terlebih dahulu ke Pengadilan, atau dalam hal wali nikah calon isteri keberatan (adhal), maka kepada si wanita diperintahkan untuk terlebih dahulu mengurus masalah wali adhal tersebut ke Pengadilan Agama. Selama persoalan ini belum tuntas maka perkawinan belum dapat dilangsungkan.
Ketiga, menolak dilangsungkannya perkawinan apabila perkawinan tersebut melanggar ketentuan Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika diketahui ada pemalsuan identitas, memakai wali yang tidak berhak, masih terikat perkawinan dengan laki-laki/wanita lain, beda agama atau adanya halangan perkawinan dan sebagainya, maka Pegawai Pencatat Nikah harus menolak menikahkan mereka.
Keempat, membatalkan perkawinan (melalui proses pengadilan), apabila dikemudian hari diketahui setelah berlangsungnya perkawinan bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan. Misalnya, isteri masih terikat perkawinan dengan suaminya yang pertama, atau masih dalam masa iddah, dan sebagainya.

Undang-Undang Perkawinan juga memberikan warning kepada Pegawai Pencatat Nikah untuk tidak melangsungkan perkawinan bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan. UU No. 1 tahun 1974 pasal 20 menyatakan: “Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan”.
Pelanggaran yang dimaksud yakni:
Pasal 7

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Para pakar hukum berdebat tentang persoalan apakah pencatatan perkawinan tersebut merupakan sebuah keharusan dalam artian wajib, yakni menetukan sah tidaknya sebuah perkawinan ataukah hanya merupakan syarat administratif, yang tentunya tanpa pencatatan pun perkawinannya sudah dianggap sah.
Perdebatan ini dimulai ketika berusaha memahami apa yang termaktub pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebagai berikut:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat pertama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Artinya pencatatan hanyalah persoalan administratif, tanpa dilakukan pun pencatatan perkawinan tersebut sudah dianggap sah, karena yang menentukan sahnya sebuah perkawinan adalah berdasarkan pasal 2 ayat (1) yakni hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan yang termuat pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dipahami terpisah. Perkawinan sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan sesuai dengan apa yang dimaksud pada ayat (1).
Pendapat kedua menyatakan, bahwa pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh dipahami secara terpisah karena ayat (1) dan ayat (2) itu adalah sebuah kesatuan. Artinya perkawinan itu baru dikatakan sah apabila telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termaktub pada ayat (1) dan ayat (2). Jika sebuah perkawinan dilangsungkan dengan hanya memenuhi ketentuan ayat (1), maka perkawinan tersebut belum bisa dikatakan sah. Kedua ayat ini harus dipahami secara kumulatif. Jika diambil pemahaman ini maka pencatatan perkawinan itu bukan hanya sebagai syarat administratif akan tetapi turut menentukan sahnya sebuah perkawinan.
Kedua pendapat di atas sama-sama mempunyai dasar argumentasi dan analisa masing-masing. Salah satu argumentasi pendapat pertama, bahwa tidak ada satupun dalil nash baik al-Quran maupun Sunnah yang memerintahkan pencatatan perkawinan, maka bagaimana mungkin kita menempatkan pencatatan itu sebagai sebuah keharusan sementara tidak satupun nash yang memerintahkannya. Oleh karena itu adanya pencatatan itu adalah sesuatu yang baik namun sifatnya hanyalah administratif dan tidak lebih dari itu.
Secara eksplisit memang tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan merupakan sebuah kemestian, karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan. sementara Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih:
الضرر يزال[1]
“Kemudharatan harus dihilangkan”
Kemudian jika kita telaah persoalan pencatatan perkawinan ini secara mendalam, akan ditemukan nash yang mengingatkan agar dalam setiap transaksi/perjanjian itu dilakukan pencatatan. Dalam surat al-Baqarah ayat 282 Allah berfirman:
يأيهاالذين أمنوا اذاتدا ينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوه
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..

Bahwa ayat ini bukan berbicara tentang persoalan pencatatan nikah adalah benar adanya. Akan tetapi maqasid al-syari’ah yang dituju pada ayat ini adalah untuk menghindari agar salah satu pihak di kemudian hari tidak memungkiri apa-apa yang telah disepakatinya atau mengingkari perjanjian yang telah dilakukannya dengan pihak lain. Paling tidak yang bisa dipahami dari ayat ini adalah Allah melalui firmannya diatas berusaha menutup semua kemungkinan yang akan membawa kemudharatan. Pencatatan perkawinan merupakan perbuatan hukum yang penting karena akan menjadi bukti bila terjadi pengingkaran tentang adanya perkawinan tersebut. Bila transaksi jual beli saja harus dicatat dalam hukum Islam, apalagi perkawinan yang akan banyak menimbulkan hak dan kewajiban, tentu memerlukan pencatatan pula.
Kalau begitu bagaimana dengan pernikahan yang telah dilakukan pada masa lalu, jauh sebelum adanya ketentuan ini, sementara pernikahan itu dilakukan tanpa adanya pencatatan perkawinan. Suatu hal yang harus dipahami bahwa teks-teks al-Quran dan Hadis sangat terbatas, sementara tingkah laku manusia semakin hari semakin beragam, dan peristiwa hukum dari hari kehari semakin banyak bermunculan, sementara aturan hukum yang mengaturnya belum ada. Maka untuk mengatasinya perlu adanya ijtihad. Bahwa di masa lalu belum ada ketentuan pencatatan perkawinan dikarenakan pada masa itu belum dirasakan arti pentingnya, disamping tingkat keber-agamaan dan amanah terhadap lembaga perkawinan cukup tinggi, dan tingkat penyelewengan relatif kecil. Sementara untuk kondisi sekarang, tidak mungkin lagi sebuah perkawinan dilangsungkan tanpa adanya pencatatan. Banyak sekali penyelewengan yang telah dilakukan, dimana konsekuensinya adalah ada pihak tertentu yang akan dirugikan. Oleh karena itu untuk mengantisipasi semua kemudharatan yang akan timbul, perlu dibuat aturan-aturan yang mengikat sehingga semua bentuk kesewenang-wenangan dapat dihindari semaksimal mungkin. Dalam setiap tindakan seorang muslim itu tidak boleh merugikan atau dirugikan oleh orang lain, sebagaimana diungkapkan oleh hadis:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudharatkan” (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Said al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Hadis di atas mengandung makna bahwa ada keseimbangan atau keadilan dalam berperilaku serta secara moral menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudharatkan orang lain tetapi juga tidak mau dimudharatkan orang lain.
Dalam pandangan hukum Islam, Pemerintah ataupun penguasa dibenarkan membuat segala jenis peraturan terutama mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam al-Quran dan Hadis Nabi sejauh tidak bertentangan dengan kedua nash tersebut. Menurut ajaran Islam perintah atau aturan penguasa wajib untuk ditaati sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59:
يأيهاالذين أمنوا أطيعواالله واطيعوا الرسول وأولى الامر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari (kalangan) kamu ….

Ayat ini secara tegas, disamping memerintahkan mentaati Allah dan Rasulnya, juga memerintahkan agar mentaati peraturan yang ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah, penguasa). Ketaatan kepada pemerintah ini hukumnya wajib. Hanya saja ketaatan itu bukan tanpa batas dan tidak bersifat mutlak. Ketaatan disini terbatas hanya terhadap peraturan pemerintah yang tidak membawa kepada kemaksiatan.
Ada sebuah ungkapan dalam kaedah fikih:
تصرف الامام على الراعية منوط بالمصلحة[2]
Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatannya.
Jadi ada kewajiban moral bagi rakyat untuk mentaati pemimpinnya selama kebijakan tersebut adalah untuk kemaslahatan rakyatnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa untuk kondisi sekarang, pencatatan perkawinan menjadi sesuatu yang sangat mutlak sifatnya.
Barangkali perlu juga dipetik kaedah fiqh berikut:
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
“Sesuatu kewajiban yang tidak akan sempurna jika tidak disertai tindakan yang lain, maka tindakan itu menjadi wajib pula”

Menyempurnakan akad nikah adalah wajib, namun ia tidak sempurna tanpa adanya pencatatan. Oleh sebab itu mencatatkan perkawinanpun hukumnya wajib. Banyak sekali kemaslahatan yang tercapai dengan adanya pencatatan perkawinan. Bahwa ada perbedaan pendapat tentang masalah pencatatan perkawinan ini adalah sesuatu yang lumrah, karena persoalan ini berada dalam koridor ijtihad yang tentunya kebenarannya bersifat relatif. Akan tetapi kita berkewajiban untuk mencari mana yang paling mendekati kebenaran.







[1]Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), Cet. I, h. 252.
[2]Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al—Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), Cet. I, h. 134

2 komentar:

Kumpulan Foto ......