Senin, 20 April 2009

Nafkah dalam Peraturan Perundang-undangan

Oleh: Fakhrurazi

1. Ketentuan Nafkah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 [1] yang merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama hanya mengatur secara umum hak dan kewajiban suami isteri. Ketentuan tentang hal ini dapat dijumpai dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Pada pasal 30 dijelaskan:
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”
Undang-undang ini terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat yang memandang bahwa melaksanakan perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan sebagian dari ketentuan agama, karena itu seluruh kewajiban yang timbul sebagai akibat perkawinan harus dipandang sebagai kewajiban luhur untuk menegakkan masyarakat.
Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga[2] dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkataan ‘ibu rumah tangga’ tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan dan tidak boleh pula diartikan isteri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja di luar rumah tangganya dilarang melakukan pekerjaan tersebut. Sebagai isteri ia berhak melakukan pekerjaan di luar rumah tangga asal saja ia tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung cinta, kasih sayang di antara suami dan anak dalam usaha mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedang suami sebagai pemimpin[3] menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan isteri dan keluarga disertai nasehat dan perhatian dalam usahanya secara bersama dengan isteri untuk kebahagiaan rumah tangga.
Untuk mengembangkan fungsi masing-masing, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1) yang ditentukan secara bersama-sama (pasal 32 ayat 2). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan hukum perdata[4] dan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang mengharuskan isteri tinggal di rumah suaminya. Undang-undang menganggap musyawarah dalam menentukan tempat tinggal adalah sejalan dengan ketentuan sebelumnya yang menempatkan suami dalam kedudukan seimbang dalam melakukan setiap perbuatan yang mempunyai akibat hukum kepada suami isteri tersebut.
Ketentuan tentang hak dan kewajiban juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu pada pasal 33 yang berbunyi:
“Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”.
Pasal ini mengisyaratkan bahwa ketika suami isteri telah mempunyai kedudukan yang sama dalam perkawinan, maka antara suami isteri harus ada saling hormat menghormati, saling setia yang merupakan kebutuhan lahir dan batin masing-masing suami isteri.
Penulis berpandangan bahwa dari beberapa pasal yang telah di kemukakan di atas, undang-undang telah menekankan bahwa perolehan hak terkait erat dengan penunaian kewajiban, walaupun hak-hak yang tersebut di atas adalah hak-hak yang dirasakan (non materil), bukan dimiliki (materil).
Dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diatur kebutuhan yang dapat diakses langsung dari suami isteri:
Ayat (1) “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Ayat (2) “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”.
Pasal ini tidak menyebut kewajiban suami isteri bersifat kebutuhan lahir dengan terminologi “nafkah”[5] tetapi keperluan hidup berumah tangga. Namun secara jelas yang dimaksudkan adalah apa yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi keperluan pokok bagi kelangsungan hidupnya. Yang menarik dalam ketentuan pasal ini tidak ditetapkannya batasan maksimal dan minimal[6] nafkah yang menjadi kewajiban suami terhadap isteri, tetapi didasarkan kepada keadaan masing-masing suami isteri. Hal ini dimaksudkan agar ketentuan ini tetap aktual dan dapat dipergunakan dalam menyahuti kebutuhan dan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat.
Sejalan dengan kewajiban suami tersebut di atas, maka kewajiban isteri adalah mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya, hal tersebut merupakan hak suami.
Bagian terakhir tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang Perkawinan ini adalah mengatur tentang kemungkinan suami isteri untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan apabila masing-masing suami isteri melalaikan kewajibannya. Hal itu merupakan jaminan terhadap hak masing-masing suami isteri apabila hak tersebut terabaikan.
Dalam bagian lain dari undang-undang ini yaitu dalam Bab VIII yang mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya antara lain memuat tentang ketentuan tentang kewenangan pengadilan untuk mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri (pasal 41 huruf c). Ketentuan yang terdapat dalam pasal ini memberikan kemungkinan kepada pengadilan untuk menetapkan kewajiban pada suami untuk memberikan sesuatu bagi bekas isterinya setelah terjadi perceraian tanpa merinci batasan kewajiban tersebut sampai kapan dan juga tidak memberikan batasan maksimal dan minimal kewajiban tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UUP menetapkan hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat materil dan immateril. Kewajiban materil mencakup hak untuk memperoleh tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga, sedangkan hak yang bersifat immateril mencakup hak untuk diperlakukan secara seimbang dan baik. Semangat undang-undang ini juga mengisyaratkan bahwa perolehan hak adalah setelah menunaikan kewajiban. Perpanjangan pembayaran kewajiban dan penerimaan hak dapat dilakukan pengadilan bagi bekas suami atau isteri setelah terjadi perceraian. Pemenuhan kewajiban di satu sisi dan penerimaan hak di sisi lain bukan hanya sebagai kewajiban moral dalam sebuah perkawinan, tetapi dapat dituntut ke pengadilan apabila masing-masing suami isteri merasa dirugikan.
2. Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam
Meskipun keberadaan dan kedudukan Pengadilan Agama semakin mantap dengan didukung perundang-undangan yang jelas, namun dalam mengambil keputusan hakim belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735, maka usaha untuk penyeragaman tersebut telah dimulai dengan menganjurkan kepada para hakim untuk menerapkan atau menggunakan 13 kitab kuning sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
Dengan merekomendasikan 13 kitab tersebut, keseragaman belum sepenuhnya tercapai, sementara itu dirasakan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Untuk menyahuti kebutuhan tersebut, maka usaha penyeragaman diperluas dengan menambahkan kitab-kitab mazhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan yurisprudensi Pengadilan Agama dan fatwa ulama. Usaha ini kemudian dihimpun dan diterapkan sebagai hukum terapan yang kemudian dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam.
Di antara hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hak dan kewajiban suami isteri yang telah diatur secara rinci, karena Kompilasi Hukum Islam dibuat untuk menegaskan dan melengkapi hukum materil yang ada sebelumnya (yang diharapkan dapat) sebagai hukum terapan yang diberlakukan bagi umat Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dibedakan dan dikelompokkan hak dan kewajiban bersama antara suami isteri, hak suami, hak isteri, serta kedudukan masing-masing suami isteri. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam pasal 77 sampai dengan pasal 84.
Adapun mengenai kewajiban bersama antar suami isteri diatur dalam bagian umum yaitu pasal 77 dan pasal 78. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 77 sebagian ditemukan pedomannya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu pasal 77 ayat (1) padanannya adalah pasal 30 Undang-undang Perkawinan dengan tambahan: ….rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah;dan pasal 77 ayat (2) padanannya adalah pasal 33 Undang-undang Perkawinan, sedangkan pada ayat 3 belum diatur sebelumnya dalam Undang-undang Perkawinan, yaitu:
“Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya”.
Ketentuan ini mempertegas bahwa kewajiban suami isteri terhadap anak (hak anak dari orang tua) bukan hanya sebatas kewajiban moral, tetapi kewajiban hukum untuk kemashlahatan anak sebagai orang yang belum berdaya mengurus dirinya.
Kemudian dalam pasal 77 ayat (4) diatur pula bahwa “Suami isteri wajib memelihara kehormatannya”. Meskipun dalam pasal 77 ayat (2) telah diatur tentang kewajiban saling hormat menghormati, maka melalui pasal ini dipertegas bahwa salah satu perwujudan rasa saling menghormati adalah adanya kemauan untuk memelihara kehormatan, yang bukan semata-mata kewajiban moral tetapi kewajiban hukum, yang apabila diabaikan oleh masing-masing suami isteri, maka salah satunya dapat menuntut ke pengadilan. Hal ini seperti diatur dalam pasal 77 ayat (5) dan padanannya dalam pasal 34 ayat (3) Undang-undang Perkawinan.
Selanjutnya dalam pasal 78 ayat (1) dan (2) diatur lagi tentang tempat kediaman bersama dan kemudian penentuan tempat kediaman bersama didasarkan kepada musyawarah. Ketentuan ini merupakan pengulangan pasal 32 ayat (1) dan (2), sehingga uraiannya tidak akan dibahas lagi pada bagian ini.
Termasuk pula hal yang merupakan pengulangan dari ketentuan yang ada sebelumnya adalah ketentuan pasal 79 tentang kedudukan suami isteri. Ketentuan pasal ini yang terdiri dari tiga ayat pasal 79 ayat (1) padanannya adalah pasal 31 ayat (3), pasal 79 ayat (2) padanannya adalah pasal 31 ayat (2). Menuru hemat penulis pengulangan dimaksudkan untuk mepertegas dengan menjelaskan bahwa hal tersebut sangat penting dalam hubungan rumah tangga.
Pada bagian ketiga diatur kewajiban suami yaitu dalam pasal 80, yang terdiri dari 7 ayat. Ayat-ayat yang merupakan pengulangan yaitu pasal 80 ayat (2) adalah pengulangan dari ketentuan pasal 34 ayat (1), sedangkan ayat-ayat yang lain merupakan ketentuan baru yang belum diatur sebelumnya. Adapun hal yang diatur dalam kedua ayat tersebut adalah:
“Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri secara bersama.”
Meskipun ditegaskan bahwa suami adalah pembimbing dalam menyelesaikan urusan rumah tangga namun dalam hal tertentu tidak serta merta suami dapat memutuskan segala hal tanpa musyawarah. Dalam pasal 80 ayat (3) dijelaskan pula:
“Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa”.
Selain kewajiban memberikan bimbingan kepada isteri, suami juga berkewajiban memberikan pendidikan agama kepada isteri. Kalau suami kebetulan tidak punya kemampuan memberikan pendidikan tersebut, suami memberi kesempatan kepada isteri untuk mendapatkan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan dalam hidup sebagai isteri dan anggota masyarakat.
Berbeda dengan ketentuan yang ada sebelumnya (pasal 34 ayat 1, padanannya pasal 80 ayat 2) yang hanya menjelaskan bahwa suami berkewajiban memenuhi keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, maka dalam pasal 80 ayat (4) dijelaskan:
“ Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
Melalui ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa keperluan berumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan. Ketentuan pasal ini juga mempertegas anggapan bahwa nafkah itu hanya untuk biaya makan, karena di samping nafkah masih ada biaya rumah tangga, dan hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan etimologi nafkah yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang berarti pengeluaran.
Mengenai kewajiban suami terhadap isteri di atas, Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa kewajiban dalam pasal di atas mulai berlaku sejak adanya tamkin sempurna. Ketentuan ayat ini menjelaskan bahwa secara yuridis formal suami berkewajiban memenuhi (pasal 84 ayat 4 huruf a) dan apabila isteri itu terikat oleh suatu perkawinan yang sah, dan isteri mempunyai kapasitas serta telah berperan sebagai isteri. Apabila ia tidak dapat berperan sebagai isteri, baik karena ia kurang atau tidak mepunyai kapasitas untuk itu, atau ia mepunyai kapasitas dimaksud tetapi enggan berperan sebagai isteri maka kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya menjadi gugur karena isteri dikategorikan nusyuz. Ketentuan itu diatur dalam pasal 80 ayat (5) yaitu: “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. Kalau dalam pasal ini sikap isteri yang menyebabkan gugur hak nafkah, maka dalam pasal 80 ayat (6) diatur bahwa isteri dapat mebebaskan suami dari kewajiban terhadap dirinya.
Bagian keempat dari hak dan kewajiban suami isteri mengatur tentang masalah tempat kediaman. Pada pasal 81 ayat (1) sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 80 ayat (4) dijelaskan: “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.” Ketentuan pasal ini menjelaskan batas akhir kewajiban suami untuk menanggung tempat kediaman yaitu sampai masa iddah, baik iddah raj’i maupun ba’in tidak dijelaskan oleh pasal ini, namun melalui pasal 149 yang mengatur “akibat talak”, pada sub b pasal tersebut dijelaskan:
“Bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: (b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in”.
Melalui penjelasan pasal ini dapat dipahami bahwa kewajiban untuk memenuhi maskan adalah hingga akhir iddah talak raj’i. Jadi tempat kediaman itu adalah tempat tinggal yang layak selama dalam ikatan perkawinan, iddah talak atau iddah wafat. Pasal 81 ayat (2) pasal ini menjelaskan pula bahwa selama masa iddah wafat, isteri berhak mendapatkan maskan. Kemudian dalam pasal 81 ayat 3 diatur fungsi tempat kediaman adalah untuk melindungi anak-anak, tempat menyimpan harta kekayaan dan tempat mengatur dan menata alat rumah tangga.
Kewajiban suami untuk menyediakan kediaman itu mencakup pula kewajiban untuk melengkapi peralatan rumah tangga, maupun sarana penunjang lainnya (pasal 81 ayat 4).
Meskipun pada dasarnya setiap kewajiban suami merupakan hak bagi isteri, namun secara khusus Kompilasi Hukum Islam mengatur pula kewajiban isteri yaitu pada pasal 83. Dalam ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas yang dibenarkan hukum Islam. Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan: “Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Hemat penulis rumusan pasal ini sengaja dibuat sedemikian rupa agar Kompilasi Hukum Islam tetap aktual dan dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang ada, namun yang jelas penekanan pasal ini mengacu kepada kewajiban yang bersifat intern rumah tangga.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa kewajiban suami gugur karena isteri nusyuz, maka melalui pasal 84 ayat (1) dijelaskan bahwa kewajiban suami dapat berlaku kalau isteri tidak nusyuz. Sebagai pasal yang mengatur kewajiban isteri, maka pasal ini seyogyanya ditempatkan sebagai pasal-pasal tentang kewajiban suami. Karena nusyuz akan menyebabkan hilangnya sebagian hak-hak isteri, maka penetapan isteri nusyuz harus didasarkan kepada bukti yang sah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur secara rinci mencakup jenis kewajiban, kapan mulai berlaku, kemungkinan gugur hak, kemungkinan merelakan hak oleh isteri, dan batas akhir berlaku hak-hak tersebut serta kemungkinan berlaku kembali hak-hak bagi isteri.



foot noote
[1] Diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019 Tahun 1974.
[2] Dalam al-Quran surat al-Nisa’/4:34 kepemimpinan diungkapkan dengan “qawwamu” adalah sebuah kepemimpinan yang memberikan perlindungan, persahabatan, perhatian, dan bimbingan, di mana orang yang dipimpin tetap memiliki hak untuk menentukan tindakannya sendiri dan mereka tidak tertindas. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 11947) juz. V, h. 67-68.
[3] Laki-laki diberi hak untuk memimpin disebabkan bahwa Allah telah memberikan kaum laki-laki kelebihan-kelebihan tertentu dan kemampuan memberi nafkah keluarga. Namun kepemimpinan laki-laki khususnya dalam keluarga tidak mutlak, tetapi terkait oleh kemampuan bergaul secara baik, rasa kasih sayang, rasa tanggung jawab terhadap kaum wanita. Lihat: M. Atho Mudzar dkk [ed.], Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kali Jaga Press, 2001), h. 53.
[4] Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 106 dan 107 yang mengharuskan isteri patuh dengan tinggal serumah dengan suami di tempat di manapun suami bertempat tinggal.
[5] Kata nafkah lebih dikenal dalam terminologi fikih, namun sekarang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia (Lihat: Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 93.

[6] Di kalangan ulama, Ibnu Qayyim al-Jauziah termasuk golongan yang tidak menetapkan batas minimal dan maksimal nafkah. Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi dasar bagi Ibnu Qayyim adalah nash al-Quran surat al-Thalaq/65: 7 dan hadis Hindun, Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, alih bahasa:. Abdurrahman dan A. Haris, (Semarang: al-Syif, 1990), h. 462.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan Foto ......